JurnalPatroliNews – Jakarta,- Focus Group Discussion dalam rangka mewujudkan jakarta kota moderasi dan toleransi pada hari Senin 28 Februari 2022 yang dibesut oleh Kepolisian Daerah Metrojaya membahas mengenai keprihatinan terhadap politik identitas dan polarisasi masyarakat berbasis Agama akibat pemilu yang makin mengemuka dan mendasar, khususnya dalam Masyarakat Jakarta.
Keprihatinan ini disampaikan oleh Kapolda Metro jaya yang diwakili oleh Direktur Intelkam Polda metro jaya Kombes Pol Hirbak Wahyu Setiawan, S.I.K, M.H yang menyatakan bahwa Karena kecintaan terhadap jakarta yang aman dan kondusif maka Kapolda metrojaya memiliki Visi tentang Jakarta yang aman dan sehat khususnya terkait kesehatan dalam kehidupan berpolitik dan berkehidupan yang dituangkan dalam program 2022 jakarta kota moderasi, jakarta kota toleransi. Dan karenanya Kapolda mengajak seluruh stakeholde untuk melakukan perumusan yang dapat diimplementasikan di kehidupan masyarakat yang memiliki latar belakang yang beragam.
Dalam Narasi Pembuka Pemantik Diskusi DR. DEVIE RAHMAWATI menyatakan bahwa pesta demokrasi melalui pemilihan umum, yang sejatinya merupakan proses berdemokrasi malah menimbulkan polarisasi yang memecah belah bangsa, dinamika ini terus dipertajam dan mengemuka hingga di ruang digital survey Microsoft menunjukkan bahwa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang paling tidak santun di Media Sosial. Karenanya dalam diskusi ini dimohonkan masukkan dari para tokoh negara agar kota jakarta warganya dapat pulih dan kembali menghormati dan menjaga keberagaman hingga lebih lanjut warga DKI dapat menjadi kompas toleransi dan moderasi serta contoh dari keadaban dan toleransi bagi seluruh wilayah di Negeri ini
Dalam Diskusi yang diselenggarakan di Hotel Amarosa, jakarta selatan ini Sejarawan J.J Rizal menyatakan bahwa secara budaya dan historis, Jakarta khususnya masyarakat Betawi mempunyai latar egaliter yang kuat karena tidak ada sistem monarki, sistem kebudayaan betawi banyak terpengaruh budaya budaya lain yang bukan islam, jadi latar budaya indonesia di jakarta merupakan asimilasi dari budaya budaya luar non agama, maka sebenarnya moderasi dan toleransi bisa dapat digali lebih jauh dalam budaya betawi yang merupakan percampuran dan asimilasi dari banyak wilayah lain. Selain itu karena Basis budaya betawi adalah basis demokrasi dan republikan maka secara kultural mereka bisa memperbaiki konflik konflik horizontal seperti yang terjadi dalam suasana pra pemilu, karenanya kita selalu dapat menggali lebih dalam kedalam budaya Bangsa ini khususnya Suku Betawi.
Sementara itu Guru Besar FIB UI Prof. MANNEKE BUDIMAN, Ph.D dalam diskusi ini menyatakan bahwa Yg urgen bukan kata kata maupun definisi moderasi dan toleransi , tapi kemampuan para individu dalam maayarakat saling “mengenal” dan “mengerti “ satu sama lain . Identitas merupakan kartu krusial dalam politik, maka kita tidak bisa berhenti pada kenyataannya adanya keberagaman identitas, namun perlu adanya upaya untuk mencoba saling mengenal dan mengerti hingga tercipta interaksi sehat dalam masyarakat baik secara aktual maupun digital. Latar belakang dan kemampuan “mengerti” yang kuat membuat kita tidak hanya kebal terhadap hoax dan berita negatif tapi juga dapat menjadi agen pengedukasi dan pemutus kata dalam upaya mencegah penyebaran hoax .
Diskusi kemudian dilanjutkan oleh PROF. DR. RHENALD KASALI, Ph.D yang menyatakan bahwa perkembangan Budaya,ekonomi dan tehnologi membuat ke kosmopolitan dan inklusifitas masyarakat Jakarta berkurang ,inj terjadi ketika Kelas menengah baru berkembang,kelas masyarakat ini cenderung bergairah untuk menyekolahkan anak mereka di sekolah berlatar agama, hal ini tidak akan menjadi masalah jika orang tua, guru maupun lingkungan masyarakat mampu memberikan excecutive functioning, bahwa manusia harus bekerjasama manusia lain dengan latar belakanf yang meraneka ragam. Namun yang terjadi adalah kita gagal membantu generasi selanjutnya untuk dapat melihat melalui berbagai macam perpektif yang berbeda. Karenanya perlu ruang ruang pengembangan dan pelestarian budaya dan pelestarian budaya, dimana dengan tehnologi kita memberi ruang pada generasi muda untuk melihat banyak sudut pandang, toleransi dan moderasi sehingga mereka dapat memperdalam pengetahuan mereka dalam mengelola perbedaan dengan baik.
Menjawab upaya mewujudkan Jakarta sebagai kota moderasi dan toleransi tersebut Staff Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP Antonius Benny Susetyo menyatakan bahwa sesungguhnya pada level masyarakat kehidupan sudah sangat Cosmopolitan, perbedaan bukan hal yang problematis dan menakutkan, yang jadi masalah adalah SARA dijadikan komoditas politik dan perebutan kekuasaan. Masalah ini diperparah dengan tidak ada kedewasaan dari tokoh politik dalam upaya menjaga toleransi dan moderasi dengan tidak memakai SARA sebagai komoditas.
Komentar