Di sisi regulasi, relaksasi aturan buyback saham oleh OJK juga menjadi langkah penting, di mana emiten kini dapat melaksanakan aksi buyback tanpa perlu persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Selain itu, penguatan pengawasan pasar atau market surveillance terus ditingkatkan guna mendeteksi dan mengantisipasi aktivitas perdagangan yang tidak wajar di tengah kondisi pasar yang penuh ketidakpastian.
Sementara itu, untuk memperkuat daya tahan pasar modal dalam jangka panjang, BEI mengedepankan strategi-strategi yang lebih struktural. Salah satunya adalah diversifikasi produk melalui pengembangan instrumen-instrumen baru seperti Single Stock Future, Exchange Traded Fund (ETF) berbasis emas, dan Structured Warrant (SW). BEI juga berkomitmen untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi proses penawaran umum perdana saham (IPO), sehingga dapat mendorong pertumbuhan jumlah emiten baru. Tak kalah penting, peningkatan likuiditas dan modernisasi infrastruktur perdagangan menjadi fokus utama, dengan tujuan menciptakan pasar modal yang inklusif, efisien, dan mampu bersaing secara global.
“Stabilitas dan kepercayaan pasar adalah prioritas utama kami. BEI berkomitmen untuk terus menjaga integritas pasar dan melindungi kepentingan seluruh investor di tengah tantangan global yang dinamis” ujar Iman Rachman.
Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Dr. Aviliani, menyampaikan pandangan strategisnya mengenai situasi global yang terus berubah dan pentingnya respons cepat dari pemerintah maupun dunia usaha dalam menghadapi ketidakpastian yang kini menjadi keniscayaan.
“Uncertainty bukan lagi sesuatu yang baru. Sejak krisis 2008 hingga proyeksi 2025, dunia terus menghadapi gejolak ekonomi dan geopolitik dalam rentang waktu yang semakin pendek. Artinya, kepastian satu-satunya adalah ketidakpastian itu sendiri” ungkap Aviliani.
Ia menyoroti bahwa sistem pengambilan kebijakan di Indonesia masih terlalu terpaku pada prinsip rule-based, bukan principle-based. Padahal, dalam kondisi global yang berubah cepat dan penuh kejutan seperti kebijakan tarif Trump yang sering berubah dalam waktu singkat diperlukan pendekatan yang lebih fleksibel dan adaptif dari para pengambil keputusan di semua sektor.
“Jika perubahan tidak direspons dengan cepat, kita bisa menjadi korban dari kebijakan kita sendiri. Bukan hanya pemerintah, tetapi juga pelaku usaha dan birokrasi, khususnya otoritas pasar keuangan seperti bursa saham dan pasar valuta asing, harus bergerak cepat agar saat krisis terjadi, dampaknya bisa ditekan dan pemulihan bisa berlangsung lebih cepat” jelasnya.
Aviliani juga menyoroti pergeseran global dari liberalisme menuju proteksionisme, terutama oleh Amerika Serikat, yang mengharuskan Indonesia untuk meningkatkan kapasitas negosiasi bilateral dan kesiapan dalam manajemen risiko lintas kebijakan negara.
“Negosiasi perdagangan antarnegara harus dilakukan secara langsung dan bilateral. Setiap kebijakan internasional yang berubah cepat harus segera direspons. Jangan menunggu. Salah satu contohnya adalah kesiapan Indonesia dalam menanggapi kebijakan tarif dari pemerintahan Trump” tambahnya.
Komentar