Lebih jauh, ia menekankan bahwa strategi menghadapi ketidakpastian tidak bisa dijalankan secara terpisah. Kolaborasi erat antara pemerintah dan dunia usaha menjadi kunci agar arah kebijakan lebih tepat sasaran dan implementatif. Pemerintah juga harus terbuka terhadap masukan dari para pelaku usaha sebagai mitra strategis dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional.
Dalam konteks konsumsi domestik, Aviliani menyoroti peran penting kelas atas dan menengah atas yang kini menyumbang sekitar 65% konsumsi nasional. “Di tengah kondisi ekonomi yang menantang dan suku bunga tinggi, justru dua kelas ini memiliki kelebihan dana. Idealnya, kontribusi belanja mereka bisa ditingkatkan lagi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi” ujarnya.
Namun demikian, ia mengingatkan bahwa kebijakan subsidi seharusnya lebih diarahkan kepada kelas menengah bawah yang tidak mendapatkan bantuan langsung seperti masyarakat miskin. “Kita tahu bahwa selama ini subsidi BBM justru lebih banyak dinikmati oleh kalangan atas. Harus ada penyesuaian agar bantuan keuangan negara lebih tepat sasaran dan adil” pungkasnya.
Direktur Utama PT Mandiri Sekuritas, Dr. Oki Ramdhana, menyampaikan pandangannya terkait dampak kebijakan tarif AS terhadap Indonesia, serta prospek pasar modal nasional yang dinilai tetap resilien dan penuh potensi.
Meski Amerika Serikat mengenakan tarif hingga 30%, Oki menekankan bahwa dampaknya terhadap Indonesia secara langsung tergolong minim. “Ekspor Indonesia ke AS hanya sekitar 1,9% dari total PDB, dan jika produk-produk tertentu seperti elektronik dikecualikan, nilainya hanya berkisar 1,3%. Dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, Indonesia terdampak paling kecil” ungkapnya.
Sebagai pembanding, Oki menyoroti bahwa Vietnam memiliki ketergantungan ekspor yang jauh lebih tinggi terhadap AS, yakni sekitar 30% dari GDP-nya, sementara Singapura bahkan memiliki total ekspor yang setara dengan 100% dari GDP mereka. “Indonesia memiliki struktur ekonomi yang lebih tertutup (more closed economy), dengan ekspor hanya 19% dari PDB dan hanya 2% di antaranya ditujukan ke pasar AS. Ini membuat Indonesia lebih resilien terhadap gejolak eksternal” jelasnya.
Namun demikian, ketidakpastian (uncertainty) global tetap menjadi perhatian utama. Setelah pengumuman kebijakan tarif, pasar Indonesia sempat mengalami koreksi hingga 8%. Meski masih lebih baik dibandingkan Vietnam, Singapura, bahkan pasar AS sendiri, efek dari ketegangan dagang tetap menjadi sentimen negatif yang perlu diwaspadai, terutama karena dampaknya terhadap ekspor ke China.
Oki juga menekankan pentingnya menjaga persepsi internasional terhadap netralitas dan stabilitas Indonesia dalam iklim geopolitik yang penuh ketidakpastian ini. Menurutnya, kunci utama untuk memperkuat daya tahan ekonomi nasional adalah dengan memperdalam pasar keuangan domestik (market deepening), sebagaimana selalu disampaikan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati.
“Pasar modal Indonesia cukup menjanjikan karena memiliki sektor yang beragam. Meski saat ini masih terdapat saham-saham yang kurang likuid, peningkatan likuiditas adalah prioritas kami. Dengan meningkatkan likuiditas, investor global akan semakin tertarik masuk ke pasar Indonesia” ujar Oki.
Lebih lanjut, ia menyoroti beberapa langkah strategis untuk mendorong likuiditas, antara lain: penguatan investasi domestik di pasar dalam negeri, penyeimbangan suplai dan permintaan antara instrumen seperti SRBI dan SBN, pengembangan produk keuangan yang lebih luas, serta kolaborasi lintas negara ASEAN untuk mendukung investasi bersama.
“Dengan strategi yang terarah dan kolaboratif antara sektor publik dan swasta, kami optimistis Indonesia akan mampu menghadapi tantangan global dan sekaligus memanfaatkan peluang untuk pertumbuhan pasar modal yang lebih sehat dan berkelanjutan” tutup Oki.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, MPP, mengingatkan bahwa kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) saat ini sangat dipengaruhi oleh kombinasi faktor global, nasional, dan kondisi spesifik tiap negara. Dalam kajiannya, Wijayanto menyoroti sejumlah dinamika ekonomi yang perlu diwaspadai oleh pemerintah dan pemangku kepentingan, terutama dalam menghadapi potensi perlambatan ekonomi global.
Komentar