Jokowi Berwenang Melantik 57 Pegawai KPK Nonjob jadi PNS

JurnalPatroliNews Jakarta – Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta untuk mengakui kesalahannya dalam melaksanakan asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), sebagai syarat alih status pegawai menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Hal ini karena banyak pelanggaran yang dilakukan, sehingga harus dibatalkan hasilnya.

“Meminta Pimpinan KPK mematuhi temuan cacat prosedural dari Ombudsman RI dan pelanggaran HAM terkait TWK dengan membatalkan hasil tes tersebut,” kata Anggota Themis Indonesia, Nanang Farid Syam merilis hasil analisa THEMIS Indonesia Law Firm & Dewi Keadilan Social JusticeMission-, Selasa (7/9).

Usai dibatalkan, Nanang meminta agar dilaksanakan TWK ulang yang transparan dan/atau melakukan proses alih-status sebagaimana pernah diberlakukan terhadap anggota TNI dan kepolisian tanpa perlu melakukan TWK, dengan meminta Presiden Joko Widodo menyelesaikan berdasarkan ketentuan PP Nomor 17 Tahun 2020 tentang Manajemen PNS yang membuat Presiden berwenang melantik langsung pegawai KPK menjadi PNS.

“Menghimbau Pimpinan KPK mematuhi UUD 1945, Putusan Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku,” tegas Nanang.

Nanang menyampaikan, meski Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya menyatakan TWK konstitusional, tetapi tidak boleh merugikan pegawai KPK. Karena semua pegawai KPK mempunyai

kesempatan yang sama, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan harus tetap mengedepankan sumber daya manusia pegawai KPK yang bukan hanya profesional, tapi juga berintegritas, netral dan bebas dari intervensi politik, serta bersih dari penyalahgunaan wewenang dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pegawai KPK.

Selain itu, makna tidak boleh merugikan dalam konteks lembaga, mengandung arti tidak boleh merugikan bagi lembaga KPK sendiri yang dalam hal ini terkait dengan teknis penegakan hukum,

dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai lembaga negara yang fokus pada pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Terang benderang dalam putusan Mahkamah Nomor 34/PUU-XIX/2021 tidak memiliki pertentangan dengan Putusan Mahkamah Nomor 70/PUU-XVII/2019. Mahkamah mengakui konstitusional TWK, tapi Mahkamah tidak pula memutus mengenai prosedur yang seperti apa yang konstitusional,” tegas Nanang.

Nanang menegaskan, kewenangan yang konstitusional tidak menjadi pembenar atas implementasi dari kewenangan tersebut yang dilakukan secara cacat procedural dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Oleh karena itu, konstitusionalisme norma tidak dapat melegitimasi tindakan inkonstitusionalisme saat norma tersebut dilaksanakan.

Dia mengakui, putusan MK berlaku final dan mengikat sebagaimana ketentuan UU MK. Dalam konteks ini lanjut Nanang, KPK berwenang untuk melakukan TWK karena putusan MK menyatakan demikian.

Meski demikian, KPK dan Badan Kepegawaian Nasional (BKN) sebagai penyelenggara TWK tidak bisa berlindung di balik putusan MK. Sebab lembaga-lembaga yang memiliki otoritas telah memiliki penilaian, bahwa dalam praktik penyelenggaraan TWK dalam rangka alih status pegawai KPK secara sah dan meyakinkan telah menemukan fakta adanya penyalahgunaan wewenang, cacat

adminitrasi dan terbukti adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia.

“Meskipun TWK konstitusional, namun tidak dapat proses pelaksanaanya tidak menjunjung nilai-nilai konstitusi (UUD 1945), terkait perlindungan hak asasi manusia dan ketentuan undang-undang lainnya, termasuk UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Serta ketentuan UU Administrasi Pemerintahan melarang penyelenggara negara, dalam konteks ini KPK, melakukan tindakan dan kebijakan yang bukan kewenangannya; mencampur adukan kewenangan dan sewenang-wenang,” pungkas Nanang.

Komentar