Kebangkitan Nasional, Kebangkitan Ekonomi

Dr. Handi Risza, Ekonom Universitas Paramadina memandang dunia sedang dihantui dengan tiga permasalahan utama (triple horror) yaitu inflasi tinggi, tingkat suku bunga tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang melambat. Diperkirakan kondisi tersebut akan berlangsung lama yang berdampak kepada negara-negara berkembang termasuk Indonesia. 

“Di dalam negeri sendiri, terjadi stagnasi pertumbuhan ekonomi di mana rata-rata pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,9 persen. Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut, sulit bagi Indonesia untuk dapat naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi atau mengejar ketertinggalan pendapatan per kapita dari negara maju” tegasnya.

Handi memaparkan mengenai angka ratio Gini pada bulan Maret 2023 sebesar 0,388, mengalami peningkatan 0,007 poin jika dibandingkan dengan angka di bulan September 2022 sebesar 0,381. Angka ini menunjukkan tingkat ketimpangan semakin melebar. 

Handi juga menyoroti tentang kebijakan utang yang diterapkan oleh Pemerintah dalam dua dekade terakhir terus mengalami peningkatan, bahkan mencapai puncak tertingginya. “Semenjak tahun 2014 Debt to Service Ratio Indonesia selalu berada di atas ambang batas psikologisnya di atas 30%. Besarnya nilai utang dan bunga utang akan memberikan dampak yang signifikan terhadap beban keuangan negara khususnya dalam APBN, perlu diketahui bahwa bunga utang yang harus dibayar setiap tahunnya mencapai Rp 480 triliun.” 

Handi melihat dengan tax ratio yang masih rendah, menunjukkan kapasitas Makro Fiskal untuk menopang kinerja ekonomi nasional masih tergolong rendah. Bahkan tidak cukup kuat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional ke arah yang lebih tinggi. 

Ia juga menyinggung besarnya Kebutuhan anggaran untuk pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara diperkirakan mencapai Rp466 triliun hingga 2045. Dari jumlah tersebut, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan menanggung sekitar 20% atau Rp89,4 triliun. “Sampai hari ini, Pemerintah tidak pernah membuka data calon Investor yang akan menanamkan modalnya pada proyek IKN tersebut. Sebaiknya kepindahan IKN ditunda dalam jangka waktu yang tidak ditentukan, sampai semuanya siap” papar Handi.

Wijayanto Samirin, Ekonom Universitas Paramadina  menyoroti kondisi global saat ini, yang jelas tidak bersahabat bagi Indonesia. “Praktis terdapat beban yang luar biasa berat bagi tumbuh kembangnya ke depan perekonomian nasional. untuk itu perlu kemauan kuat dan rencana tepat dari Pemerintahan baru. Namun, disadari ‘kaki-kaki yang dimiliki demikian lemah’ dengan gambaran fundamental ekonomi yang agak memprihatinkan” terangnya. 

Perang Rusia-Ukraina, eskalasi di Timur Tengah, perang dagang AS-China yang berkepanjangan disertai pelemahan ekonomi AS dengan Tren dedolarisasi dan disrupsi suku bunga global. “Terakhir tercatat harga komoditas yang berfluktuasi dan menunjukkan tren menurun yang akan berdampak pada harga komoditas nasional” pungkasnya.

Utang melejit, bunga terus meningkat (14% Belanja APBN), DSR melampaui batas aman membuat daya saing ekonomi semakin terpuruk, semakin tergantung pada komoditas SDA dan tingkat kemiskinan dan ketimpangan ekonomi masih tinggi. 

“Gambaran bagi beban berat perekonomian Indonesia terlihat pada angka pengangguran yang tinggi, termasuk di kalangan Gen-Z dinilai gagal memanfaatkan bonus demografi dengan warisan program populis, boros anggaran dari pemerintah sebelumnya dan janji kampanye presiden terpilih.”

“Perlu segera evaluasi atas kebijakan tumpang tindih dan tidak pasti, sehingga menyebabkan daya tarik investasi merosot. Selain itu institusi ekonomi dan non-ekonomi digerogoti korupsi dan kemerosotan etika. Biaya logistik juga mahal, 23-25% GDP, muncul pula gejala deindustrialisasi dini, industri manufaktur hanya mewakili 18% GDP” tutur Wijayanto.

“Oleh karena itu, perlu diusulkan rasionalisasi atau modifikasi program warisan seperti IKN, KCIC, bansos, dan lain-lain, lalu perlu juga rasionalisasi atau modifikasi realisasi janji politik Pilpres 2024. Kemudian, meminimalkan utang, perbanyak porsi utang program berjangka panjang dan berbunga rendah; saat ini 90% utang bersumber dari SUN yang mahal” tegasnya.

Komentar