JurnalPatroliNews – Jakarta – Para korban kejahatan terorisme di Indonesia kini memiliki kesempatan untuk kembali mengajukan permohonan bantuan medis, psikologis, psikososial, dan kompensasi.
Ini setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian uji materiil konstitusionalitas Pasal 43L ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Dalam sidang putusan yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo pada 29 Agustus 2024, mahkamah menilai bahwa frasa “3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini mulai berlaku” dalam Pasal 43L ayat (4) adalah inkonstitusional secara bersyarat.
Sebagai hasilnya, batasan waktu untuk mengajukan permohonan bantuan diperpanjang menjadi 10 tahun sejak UU tersebut mulai berlaku.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) serta Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) kini tengah menindaklanjuti Putusan MK No. Register 103/PUU-XXI/2023, yang memperpanjang jangka waktu permohonan bantuan bagi korban terorisme masa lalu.
Kedua institusi ini melakukan sosialisasi putusan tersebut kepada jajaran kepolisian, organisasi perangkat daerah, dan perwakilan rumah sakit di kantor Pemprov Bali pada 10 Oktober 2024. Keesokan harinya, sosialisasi juga dilakukan kepada kalangan media massa di Bali.
Momentum sosialisasi ini bertepatan dengan Peringatan Peristiwa Bali I, yang diperingati setiap 12 Oktober, menandai serangan terorisme pada tahun 2002.
Korban terorisme yang dimaksud adalah mereka yang terpengaruh oleh peristiwa tersebut hingga kejadian terorisme lainnya sebelum tahun 2018, saat UU No. 5 Tahun 2018 diundangkan.
Wakil Ketua LPSK Mahyudin menyatakan bahwa dengan putusan MK ini, LPSK dan BNPT memiliki waktu hingga 2028 untuk menjangkau korban terorisme yang belum mengajukan bantuan, baik medis, psikologis, psikososial, maupun kompensasi, dalam kurun waktu 2018-2021 sesuai mandat UU No. 5 Tahun 2018.
“Batasan jangka waktu yang sempit sebelumnya menyebabkan banyak korban belum mengajukan haknya,” kata Mahyudin.
Sementara itu, Direktur Perlindungan BNPT Imam Margono menekankan pentingnya melindungi korban terorisme. “Aturan lama memberikan batasan jangka waktu tiga tahun untuk identifikasi penyintas terorisme.
Namun, karena waktu yang singkat, belum semua penyintas berhasil diidentifikasi dan mendapatkan bantuan. Setelah putusan MK, BNPT dan LPSK langsung bergerak,” pungkasnya.
Komentar