Koordinator IDI Soroti Krisis dalam PPDS: Jam Kerja Lebih dari 80 Jam dan Masalah Gaji

JurnalPatroliNews – Jakarta – Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengungkapkan sejumlah permasalahan serius yang dihadapi oleh peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Indonesia.

Isu-isu ini meliputi jam kerja yang ekstrem, ketiadaan gaji, serta beban administrasi yang tidak sesuai dengan kapasitas mereka. Koordinator Junior Doctor Network IDI, Tommy Dharmawan, mengungkapkan bahwa situasi ini seringkali mengarah pada kasus bullying dan dampak negatif lainnya.

Tommy menjelaskan bahwa salah satu masalah utama adalah jam kerja PPDS yang sering melebihi batas yang wajar. Menurut rekomendasi, angka jam kerja ideal bagi PPDS adalah 80 jam per minggu untuk menghindari kelelahan dan menjaga keselamatan pasien.

Namun, dalam praktiknya, PPDS seringkali bekerja lebih dari 80 jam, yang berdampak pada kesehatan mereka dan kualitas pelayanan.

Selain itu, PPDS juga dihadapkan pada beban administrasi yang seharusnya ditangani oleh tenaga administrasi rumah sakit, seperti pengkodean BPJS. Beban ini menambah tekanan pada PPDS dan mengurangi waktu yang seharusnya mereka gunakan untuk pendidikan dan latihan klinis.

Tommy menekankan bahwa ketidakcukupan dalam alur konseling dan pekerjaan yang tidak berkaitan langsung dengan akademik juga menjadi masalah signifikan.

Masalah lainnya adalah ketidakadaan gaji bagi PPDS di Indonesia, yang membuat negara ini menjadi satu-satunya negara yang tidak memberikan kompensasi finansial kepada peserta program tersebut. “PPDS di Indonesia adalah satu-satunya negara yang tidak diberikan gaji.

Ketidakadaan gaji ini memicu berbagai masalah, termasuk bullying, seperti meminta dibelikan makanan atau layanan non-akademis,” kata Tommy dalam konferensi pers online pada Rabu (21/8).

Menurut Tommy, gaji bagi PPDS sangat penting, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka tetapi juga untuk mendukung keluarga mereka.

“Kalau PPDS diberikan gaji, minimal mereka bisa membeli makan sendiri atau menghadapi situasi seperti anak atau keluarga yang sakit. Bayangkan jika mereka harus menghidupi diri sendiri tanpa gaji. Ini adalah masalah besar di Indonesia,” tambahnya.

Sebagai perbandingan, Tommy mengungkapkan bahwa di Malaysia, PPDS menerima gaji sebesar Rp 15 juta per bulan, dan di Singapura, saat mengikuti pelatihan di NUS, gaji yang diterima mencapai USD 2.650. “Di Indonesia, tidak ada sama sekali,” ujarnya.

Tommy juga menekankan bahwa masalah gaji harus menjadi kebijakan pemerintah, bukan hanya tanggung jawab keuangan rumah sakit.

“Jika biaya gaji PPDS diambil dari keuangan rumah sakit saja, banyak rumah sakit akan mengalami kesulitan finansial. Oleh karena itu, perlu dicarikan skema ekonomi yang baik untuk memberikan gaji yang layak bagi PPDS,” tegasnya.

Komentar