MK Kembali Tolak Uji Materi Ambang Batas Pencalonan Presiden Karena ‘Mengubah Besaran Angka Kewenangan DPR dan Presiden’

JurnalPatroliNews – Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak uji materi yang dilayangkan Partai Keadilan Sejahtera tentang ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20% dari jumlah kursi DPR, Kamis (29/09).

Sebelumnya, MK setidaknya telah menolak tiga kali permohonan dalam perkara yang sama, yaitu ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden.

Dalam putusan atas gugatan PKS, MK memutuskan menolak uji materi PKS.

“Amar putusan mengadili. Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya ,” kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan perkara Nomor 73/PUU-XIX/2022.

Dalam putusan itu, terdapat dua Hakim Konstitusi yang menyampaikan alasan berbeda, yaitu Suhartoyo dan Saldi Isra.

Di antaranya, Suhartoyo menyatakan tetap berpendirian sebagaimana putusan-putusan sebelumnya bahwa berkenaan dengan presidential threshold tidak tepat diberlakukan adanya presentase.

Pertimbangan putusan tersebut ditolak, seperti yang dibacakan Hakim Enny Nurbaningsih adalah bahwa Mahkamah tidak memiliki kewenangan mengubah besaran angka ambang batas.

“Ketentuan presidential threshold perlu diberikan batasan yang lebih proporsional, rasional dan implementatif menurut Mahkamah, hal tersebut bukan lah menjadi ranah kewenangan Mahkamah untuk menilai kemudian mengubah besaran angka ambang batas,” kata Enny.

“Hal tersebut … merupakan kebijakan terbuka sehingga menjadi kewenangan para pembentuk undang-undang, yakni antara DPR dan Presiden. Oleh karena itu, berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil para pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum,” tambah Enny.

Dengan demikian, lanjut Enny, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma pada Pasal 222 UU 7/2017, “sehingga Mahkamah berpendapat, tidak terdapat alasan mendasar yang menyebabkan Mahkamah harus mengubah pendiriannya.“

Pendirian MK terkait Pasal 222 tersebut telah diputuskan dan diucapkan dalam beberapa sidang terbuka sebelumnya yaitu, 11 Januari 2018, 25 Oktober 2018, dan putusan 25 Oktober 2018. Terakhir, putusan pada 7 Juli 2022 lalu.

PKS: ‘Ambang batas menghilangkan hak konstitusional’

Partai Keadilan Sejahtera mengajukan permohonan uji materi Pasal 222 UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) ke MK.

Pasal 222 itu  berbunyi, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”

Dalam ringkasan permohonan perkara, PKS mengugat aturan ambang batas yang disebutnya tinggi itu karena membuatnya kehilangan hak konstitusional untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden, contohnya pada Pemilu 2019.

“Permohonan ini pada dasarnya memiliki tujuan akhir untuk mengurangi angka Presidential Threshold 20% kursi DPR atau 25% suara nasional, dengan argumentasi utama mempersempit (narrowing) pembatasan pelaksanaan open legal policy melalui interval range angka ambang batas, penguatan sistem presidensial dan demokrasi, serta penentuan interval range angka ambang batas berbasis kajian ilmiah melalui penghitungan indeks Effective Numbers of Parliamentary Parties (ENPP),” tulis alasan permohonan dalam ringkasan tersebut.  

Dalam petitum, PKS meminta ambang batas syarat pencalonan presiden dan wakil presiden berada di interval 7-9%.

Ambang batas itu juga disebut membatasi jumlah calon presiden.

Sebelum uji materi ini, MK telah berulang gali menolak gugatan terhadap Pasal 222 UU Pemilu.

Juli lalu, MK menolak uji materi yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah dan Partai Bulan Bintang – artinya MK telah menolak tiga kali permohonan dalam perkara yang sama.

MK juga menolak tiga gugatan atas aturan tersebut yang diajukan oleh tujuh warga kota Bandung, empat orang pemohon, dan lima anggota DPD.

Juru bicara MK Fajar Laksono, menjelaskan alasan MK menolak beberapa gugatan terhadap ambang batas dalam UU Pemilu.

“Pendirian MK paling tidak sampai sejauh ini memang belum ada sesuatu hal yang MK merasa perlu untuk mengubah pendiriannya dari putusan-putusan yang terdahulu,” kata Fajar seperti dikutip dari Antara.

Fajar melanjutkan, tafsir konstitusional MK terhadap ketentuan ambang batas calon presiden adalah terkait dengan penguatan sistem presidensial dan penyederhanaan partai politik secara alamiah.

Komentar