Pakar Ingatkan Polemik Kasus Asabri-Jiwasraya Jangan Ganggu Pemulihan Ekonomi Nasional

JurnalPatroliNews – Jakarta, Penyitaan aset kasus korupsi Asabri-Jiwasraya memunculkan protes lantaran Kejaksaan Agung (Kejagung) diduga menyita dan merampas aset masyarakat yang tidak terkait tindak pidana korupsi tersebut.

Pakar Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Garnasih menyatakan, jika benar kasus Asabri dan Jiwasraya menggunakan modus kejahatan pasar modal sebagaimana pernyataan jaksa, seharusnya tak sulit bagi penyidik Kejaksaan Agung menelusuri aset-aset yang terkait perkara ini. Sebaliknya, Kejaksaan pun tak perlu menyita aset nasabah di pasar modal yang tak terkait kasus korupsi tersebut. Yenti mengingatkan, jangan sampai proses penegakan hukum kasus ini justru berdampak atau mengganggu pemulihan ekonomi nasional yang gencar dilakukan pemerintah.

“Saya perlu ingatkan, jangan sampai penerapan hukum dalam kasus ini menimbulkan efek berkaitan dengan perkembangan ekonomi yang sedang dibangun. Apalagi kita tahu saat ini Presiden Jokowi tengah menggalakkan program pemulihan ekonomi nasional. Nah, polemik ini tidak match dengan program pemulihan ekonomi nasional. Kalau memang betul ada bukti bahwa penyitaan-penyitaan ini tidak sesuai dengan prosedur hukum maka bisa dikatakan sebagai satu langkah abuse of power telah terjadi dalam proses penanganan kasus Jiwasraya-Asabri,” kata Yenti seperti yang dikutip pada webinar ‘Abuse Of Power Atas Aset Berkedok Penegakan Hukum’, Senin (9/8/2021).

Yenti mengatakan, jika penyidik menggunakan instrumen UU TPPU maka aset yang disita haruslah memiliki bukti merupakan harta kekayaan yang berasal dari kejahatan korupsi itu. Dengan demikian, hanya harta kekayaan yang murni berasal dari korupsi kasus tersebut yang layak disita.

“Pastinya aset itu didapatkan terdakwa setelah terjadinya korupsi. Nah ini yang harus betul-betul clear, JPU harus betul-betul bisa menyampaikan hasil penelusurannya berikut dengan bukti-buktinya di dalam peradilan,” kata Yenti.

Yenti yang juga Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (Mahupiki) menambahkan, jaksa penuntut perlu membuktikan mengapa ada aset pihak ketiga yang ikut disita dan dilelang dalam tindak pidana korupsi Jiwasraya maupun Asabri. Yenti mengingatkan, terdapat hak seseorang secara perdata dalam sebuah kepemilikan aset. Apalagi, jika aset tersebut tidak ada kaitannya dengan perkara.

“Mereka inilah yang harus dilindungi hak-haknya. Apalagi mereka tidak berkaitan dengan pihak yang masuk kepada tindak pidana korupsi nya, untuk itu kan ada yang namanya hukum acara sehingga para penegak hukum tidak dianggap melakukan abuse of power,” jelasnya.

Dalam tindak pidana korupsi, Yenti menyebut, sebenarnya terdapat aturan untuk memberikan perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang dirugikan atas tindakan perampasan aset tersebut, yakni pada pasal 19 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun, aturan tersebut belum terimplementasikan dengan baik di pengadilan.

“Ya kan secara logika Pasal 19 UU Tipikor ini menampung berbagai keberatan pihak ketiga, yang harapannya untuk mengetahui bisa enggak aset tak terkait perkara tersebut tidak dilakukan eksekusi dalam putusan hakim, itu kan gitu ya. Tetapi anehnya seperti tidak ada sinergi, terus terang jadi tidak masuk akal bagi saya. Untuk apa ada pengadilan jika pada akhirnya hakim seperti enggan melindungi hak pihak ketiga sebagaimana diamanatkan undang-undang. Lalu untuk apa ada pasal 19?,” katanya.

Sebagai informasi, Pasal 19 UU Tipikor memberikan perlindungan hukum terhadap pihak-pihak yang merasa dirugikan atas tindakan perampasan aset oleh penyidik untuk melakukan keberatan dengan melakukan pembuktian terbalik.

“Nah ini yang harus ada benang merahnya, sehingga tidak boleh ada warga negara yang tiba-tiba karena permasalahan orang lain lalu harta kekayaannya ikut disita bahkan dilelang. Harus betul-betul ada aturannya dan penghitungannya, apabila terkait dengan saham perusahaan, juga harus sesuai. Jangan sampai penyitaan ini dilakukan sedemikian rupa yang nanti dapat disebut sebagai abuse of power. Lebih buruk lagi bila penyitaan tersebut hingga mengakibatkan perusahaan yang ikut terdampak karena penyitaan menjadi berhenti bahkan harus mem-PHK karyawannya,” katanya.

Sementara itu, kuasa hukum PT JBU-PT TRAM, Haris Azhar menemukan keanehan dalam proses penyitaan yang dilakukan Kejaksaan Agung. Salah satunya, saham-saham yang disita Kejagung nilainya menjadi nol.

“Anehnya aset setelah disita Kejaksaan Agung saham-saham itu nilainya menjadi nol. Dalam konteks business action, aset itu dialihkan kemana? Apakah ditahan itu aset hingga menjadi nol. Kalo aset menjadi nol, rugi dong. Kejaksaan Agung menyita untuk apa jika kemudian setelah melakukan penegakan hukum terhadap Jiwasraya, asetnya sudah nol!” kata Haris.

Haris menekankan, yang paling runyam dan paling membahayakan dari situasi ini adalah penyitaan oleh Kejaksaan Agung terutama dalam peran dan fungsinya sebagai penyidik, terhadap aset dalam penanganan Jiwasraya-Asabri yang fokus pada nama-nama yang sama, yaitu Heru Hidayat dan juga Benny Tjokro serta beberapa nama yang lain. Faktanya, kata Haris, terdapat dana program setting plan karyawan PT PAL Indonesia senilai Rp 220 miliar yang juga turut disita.

“Padahal mereka bukan nominee, lalu ratusan aset nasabah WanaArtha juga bukan nominee. Lalu ada pengelolaan tambang batubara di Kutai di bawah bendera perseroan PT GBU termasuk aset dan barang operasional, argumentasinya adalah bahwa saham-saham tersebut tidak dimiliki atau nominee terdakwa Heru Hidayat, kata Haris.

Ditambahkan Haris, istilah nominee yang dilekatkan kepada pihak, yang kemudian saham atau asetnya atau perusahaannya disita itu ternyata tidak dapat dibuktikan atau dijelaskan di muka pengadilan.

“Saya coba komunikasi dengan sejumlah nasabah dan para pihak yang duduk sebagai pihak ketiga itu. Lalu ada tanda tanya besar dalam benak saya. Sebagaimana yang kita ketahui, hanya penyidik atau kejaksaan saja yang memilik akses data terkait aset kan ya. Namun mengapa yang selalu muncul ke media dana publik hanya nilai bombastisnya dari kerugian negara, sebenarnya yang merugikan itu siapa? Apa perannya orang-orang yang kemudian saham atau asetnya disita? Orang-orang ini kemudian kehilangan akses terhadap aset milinya yang menjadi sitaan jaksa,” katanya.
Haris menyebut saat ini tidak ada satu mekanisme yang dijamin oleh hukum, yang bisa memfasilitasi perlindungan atas aset pihak ketiga. Satu-satunya yang bisa memberikan angin segar, lanjutnya, yaitu temuan dari Ombudsman, namun itu pun bila hasil temuannya ditindaklanjuti.

“Tahun lalu, Ombudsman sudah mengatakan bahwa memang ada potensi penyalahgunaan kewenangan oleh Kejaksaan dalam proses penyidikan penanganan kasus Jiwasraya. Nah, saya ingin tekankan bahwa penanganan korupsi itu tidak boleh semena-mena, nggak bisa sekedar menyita, merampas dan melelang. Ini kan seolah-olah negara nggak punya duit, lalu tiba-tiba diambillah aset Jiwasraya dan akhirnya nasabah yang harus bayar. Seolah negara lupa bahwa ada keterlibatan keringat, pemikiran, air mata atau mungkin juga darah yang telah berkontribusi dalam proses kapitalisasi aset nasabah,” ujarnya.

(sc)

Komentar