Polemik RUU Haluan Ideologi Pancasila: Ditolak Kelompok Islam, Dikritik Partai di DPR

JurnalPatroliNews – RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang digagas DPR mendapat penolakan keras dari sejumlah kelompok Islam.

Majelis Ulama Indonesia bahkan menyebut RUU tersebut ‘pencurian di saat senyap’ ideologi negara karena pembahasannya tidak melibatkan berbagai kalangan masyarakat, dan hanya dalam waktu singkat telah disahkan menjadi program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2020.

“Mencuri di saat senyap, mengganti ideologi negara. Jika dilanjutkan akan berpotensi mendapat tantangan keras dari masyarakat, termasuk umat Islam yang berjuang hidup mati mempertahankan Pancasila,” kata Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI, Ikhsan Abdullah.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang mengirimkan kadernya menjadi ketua panitia kerja RUU ini membantah tudingan tersebut. Aria Bima, anggota DPR dari Fraksi PDIP, mengatakan Pancasila adalah ideologi final dan status bangsa Indonesia yang tidak bisa diubah.

“Sedangkan, RUU HIP berfungsi sebagai ideologi dinamis yang melekat dalam diri setiap warga Indonesia sehingga mampu menjawab seluruh permasalahan yang muncul di tengah globalisasi dan revolusi industri 4.0,” ujarnya.

Fraksi PDIP pun memutuskan untuk menarik pasal-pasal yang dianggap kontroversial.

Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Cecep Hidayat, memandang RUU HIP ini berpotensi digunakan sebagai “alat” pemerintah dalam memukul ideologi lain dan menurunkan nilai keagamaan yang menjadi roh Pancasila yang kemudian digantikan dengan “gotong royong”.

Pembahasan RUU HIP muncul di saat masyarakat dan pemerintah tengah fokus menangani wabah virus corona.

Apa polemik RUU HIP?

Terdapat 60 pasal dari RUU HIP ini. Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyebut mayoritas pasal dalam RUU itu bermasalah dan berpotensi memunculkan kontroversi, serta mereduksi sila-sila dalam Pancasila sebagai dasar negara.

Salah satu pasal yang dinilai bermasalah adalah Pasal 7 yang memiliki tiga ayat, yaitu:

(1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/ demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan.

(2) Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.

(3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.

“Rumusan seperti di Pasal 7 seperti mengulang kembali perdebatan lama yang sudah selesai dan bertentangan dengan UUD 1945. Padahal rumusan Pancasila sebagai dasar negara sudah final dengan lima sila.

“Tugas kita seharusnya tidak lagi memunculkan perdebatan sesuatu yang sudah final. Tapi lebih ke bagaimana menjalankan dan membumikan Pancasila sehingga menjadi bagian dalam setiap diri rakyat Indonesia,” kata Abdul.

Muhammadiyah, kata Abdul, meminta DPR untuk lebih baik fokus melakukan tugas pengawasan terhadap kebijakan pemerintah dalam mengatasi wabah Covid-19 agar tidak terjadi penyimpangan.

“Ini malah DPR diam-diam membahas RUU yang tidak mendesak, isinya kontroversial dan bermasalah, serta menimbulkan kegaduan di masyarakat,” kata Abdul.

Majelis Ulama Indonesia juga tegas menolak RUU HIP. Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI, Ikhsan Abdullah, memandang terdapat beberapa kecurigaan di balik kemunculan RUU ini, yaitu para anggota dewan yang tidak paham, ada pihak yang mau menyusupkan ideologi tertentu, atau ingin mencuri dasar negara Pancasila dan menggantikannya dengan tafsir lain.

Ikhsan menilai Pancasila yang menjadi landasan negara dan tercantum dalam UUD 1945 tidak bisa ditafsirkan oleh peraturan undang-undang organik atau pelaksanaan di bawahnya.

“Jadi tepatnya adalah RUU PHIP, yaitu Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila yang menata dan mengatur para lembaga negara yang bertugas seperti MPR dan BPIP dalam melakukan pembinaan ideologi Pancasila. Ini pedomannya, ini UU organiknya.

“Jangan malah RUU organik ini menafsirkan Pancasila yang artinya mendegradasikan atau merendahkan falsafah negara dan menjadikan Pancasila mati dalam rumusan norma. Ini bahaya,” katanya.

Selain itu, yang menjadi polemik dalam RUU ini adalah tidak dimasukannya TAP MPRS No XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI sebagai konsiderans ‘mengingat’.

Konsiderans adalah pertimbangan yang menjadi dasar penetapan keputusan, peraturan, dan sebagainya.

“Nah dengan tidak dicantumkan TAP MPRS yang di dalamnya ada tentang pembubaran PKI akan mengores kembali sejarah masa lalu yang ingin diperdebatkan,” katanya.

MUI meminta agar RUU ini harus segera ditarik untuk kemudian diperbaiki naskah akademiknya. Setelah itu, dilakukan diskusi dan dialogi secara luas yang melibatkan semua pihak untuk mencari bentuk aturan terbaik.

Selain MUI dan Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama juga menolak RUU HIP. Front Pembela Islam juga menolak RUU tersebut.

RUU HIP juga memunculkan aksi demonstrasi di beberapa daerah, seperti di Jakarta, Solo, dan Jember.

PDIP setuju hapus pasal yang timbulkan polemik

PDIP yang mengirimkan kadernya menjadi ketua ketua panitia kerja RUU ini setuju untuk menghapus Pasal 7 yang menimbulkan polemik.

“Demikian halnya penambahan ketentuan menimbang guna menegaskan larangan terhadap ideologi yang bertentangan dengan Pancasila seperti marxisme-komunisme, kapitalisme-liberalisme, radikalisme serta bentuk khilafahisme, juga setuju untuk ditambahkan.” Kata Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto.

Mengenai pro-kontra pendapat di DPR dan masyarakat terkait RUU HIP, anggota DPR Fraksi PDIP Aria Bima menyebut sebagai sesuatu yang biasa dalam proses demokrasi dan tidak perlu dibesar-besarkan.

Ia pun meminta masyarakat untuk tidak hanya menafsirkan RUU HIP secara sempit tentang TAP MPRS dan Pasal 7 sehingga akhirnya menolak RUU secara utuh.

“Poin-poin dalam aturan itu masih bisa didialogkan. Yang perlu ada kesamaan pandangan bahwa RUU HIP ini penting sebagai bagian hidup warga Indonesia saat ini dalam menghadapi tantangan jaman,” katanya.

Sejumlah partai di DPR juga menolak

Beberapa partai parlemen yang menjadi koalisi dan oposisi pemerintah, seperti PPP, PKS, PAN dan NasDem secara bersama meminta agar TAP MPRS No XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dimasukan sebagai konsiderans ‘mengingat’.

Partai NasDem yang merupakan koalisi pemerintah, kata Wakil Ketua Fraksi Nasdem di DPR Willy Aditya, menolak melanjutkan pembahasan RUU HIP jika TAP MPRS tidak dimasukan dan proses pembahasan dilakukan ekslusif.

“Kami juga meminta prosesnya lebih inklusif dan melibatkan banyak pihak, dan bukan pemaksaan kehendak seperti yang terjadi sekarang yang tidak mencerminkan bagaimana lahirnya Pancasila sebagai ideologi bangsa,” katanya.

Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR yang merupakan oposisi pemerintah juga menolak RUU HIP dengan alasan yang sama.

“Jangan abaikan bahaya laten komunisme. TAP MPRS XXV/1966 secara resmi masih berlaku karena bahayanya mengancam bangsa Indonesia sampai dengan saat ini,” kata Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini lewat siaran pers.

“TAP MPRS tersebut dalam hierarki perundang-undangan berada di atas UU dan di bawah UUD, jadi sudah semestinya menjadi rujukan,” tambahnya.

Mengapa prosesnya begitu cepat?

Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Cecep Hidayat, menyebut terdapat beberapa faktor RUU yang merupakan inisiatif DPR khususnya dari Fraksi PDIP dapat dengan cepat disetujui.

“Pertama, mayoritas fraksi itu koalisi pemerintah. Jadi lebih lancar dan cepat menggolkan RUU yang diinisiatifkan PDIP ini,” kata Cecep.

Kedua, RUU ini, kata Cecep bertujuan untuk memperkuat dan melindungi kedudukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang ketua dewan pengarahnya adalah Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

“Kemudian, sebagai instrument atau dasar memperkuat dan memperbesar peran Pancasila di masyarakat,” katanya.

Cecep pun mengingatkan bahwa RUU berpotensi digunakan “alat” untuk memukul ideologi lain.

“Ideologi lain bukan dalam arti dasar negara tapi misalnya ideologi dalam kepartaian dan ormas, kan ada nasionalis, religius, dan lainnya. Jangan sampai ini jadi alat memukul ideologi tersebut,” katanya.

Cecep pun menilai jauh kemungkinan dengan RUU HIP ini dapat kembali membuka ruang bagi komunis di Indonesia. “Komunis itu sudah selesai di Indonesia. Kekhwatirannya lebih ke arah sebagai alat pukul bagi azas lain yang kini terbipolarisasi. Untuk itu RUU ini harus terus dikawal,” katanya.

Pemerintah: RUU HIP akan ditolak jika Pancasila diperas

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, menegaskan bahwa pemerintah akan menolak RUU ini jika Pancasila diperas menjadi Trisila atau Ekasila.

“Pemerintah juga akan mengusulkan pencantuman TAP MPRS dalam konsiderans,” kata Mahfud.

Sejauh ini, kata Mahfud, pemerintah belum terlibat pembicaraan dan baru menerima RUU HIP untuk kemudian dipelajari secara seksama.

“Presiden belum mengirimkan Supres [Surat Presiden] untuk membahasnya dalam proses legislasi,” katanya.

Mengenai komunisme, Mahfud menegaskan pelarangan komunis di Indonesia bersifat final dan tidak ada ruang hukum untuk merubah atau mencabut TAP MPRS XXV Tahun 1966 tersebut. (BBC Indonesia)

Komentar