Seorang Perempuan Berusia 9 Tahun Menjadi Korban Kekerasan Seksual Oleh Temannya Yang Masih Berusia 8 Tahun

“Saya hanya minta anak saya diobati. Tapi orang tuanya malah menantang saya untuk melakukan visum, karena ia kukuh anaknya tidak bersalah. Padahal di awal mediasi anaknya sudah mengakui ” kata DMS.

Ditambahkannya, karena orangtuanya tahu anak di bawah umur tidak akan ada hukuman itulah kenapa ia kukuh anaknya tidak bersalah.

Atas peristiwa itu, PPA sudah 2 kali melakukan mediasi namun gagal, karena pihak orang tua pelaku merasa anaknya tidak bersalah. Padahal dari hasil psikologi sudah jelas dikatakan anaknya bermasalah.

“PPA sudah tidak akan mendampingi saya lagi, karena sudah mencoba beberapa kalipun tetap gagal mediasi. Dan selanjutnya diserahkan kepada proses hukum, tapi disayangkan dari pihak kepolisian (Polres Metro Bekasi) sampai saat ini belum ada pemanggilan ke pihak mereka,” kata DMS.

Dia mengatakan bahwa dirinya sudah di BAP, bahkan saksi pun sudah dipanggil. Dirinya hanya minta keadilan untuk anaknya. Terlebih pihak orang tua pelaku menantang untuk dibawa ke jalur hukum.

Menanggapi hal itu, praktisi hukum Azas Tigor Nainggolan mengatakan bahwa dalam sistim peradilan pidana anak wajib dilakukan upaya Diversi dengan tujuan untuk perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindari anak dari perampasan kemerdekaan dan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, serta menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

“Harus ada perdamaian secara tertulis di atas materai antara kedua belah pihak, dan perdamaian itu adalah bagian dari proses hukum,” kata Azas Tigor Nainggolan.

Dan untuk kedua anak tersebut, Azas Tigor mengingatkan, harus diberi pendampingan untuk therapy pemulihan atas peristiwa yang telah terjadi.

Komentar