JurnalPatroliNews -Jakarta –Sindikat kejahatan di Asia Tenggara semakin canggih dalam menjalankan aksi penipuan dengan memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan (AI).
Sebuah laporan baru dari Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC), yang dirilis pada Oktober 2024.
mengungkap bahwa kelompok kriminal di kawasan ini meraup hingga Rp 575 triliun (USD 37 miliar) melalui berbagai modus operandi, termasuk penggunaan AI dan deepfake.
Laporan tersebut, berjudul Kejahatan Terorganisir Transnasional dan Penipuan Berbasis Siber: Lanskap Ancaman yang Bergeser, menguraikan bagaimana AI telah membantu kelompok kriminal meningkatkan skala dan efisiensi operasi ilegal mereka.
Teknologi deepfake, yang memungkinkan manipulasi suara dan gambar, mengalami peningkatan penggunaan hingga 600 persen selama paruh pertama tahun 2024.
“Kelompok kriminal kini lebih terorganisir dan memanfaatkan celah teknologi, melampaui kemampuan pemerintah dalam menanggulanginya,” ujar Perwakilan Regional UNODC untuk Asia Tenggara dan Pasifik, Masood Karimipour.
PBB memperingatkan bahwa jaringan sindikat ini berkembang jauh lebih cepat daripada upaya penegakan hukum di banyak negara.
Selain penipuan siber, kelompok kriminal ini juga memanfaatkan platform judi daring ilegal dan aset kripto untuk pencucian uang hasil kejahatan. Analis Regional UNODC, John Wojcik, mengungkapkan bahwa penggunaan AI generatif memungkinkan sindikat ini melakukan operasi yang sebelumnya membutuhkan keahlian teknis tinggi,
seperti membuat deepfake, menjadi lebih mudah diakses. “Penggunaan AI dalam penipuan siber telah memperluas skala kejahatan dan meningkatkan efisiensinya,” jelas Wojcik.
Indonesia menjadi salah satu negara yang terdampak secara signifikan oleh aktivitas sindikat kriminal ini. Pemerintah memperkirakan lebih dari 3 juta warga Indonesia terlibat dalam perjudian daring, dengan nilai transaksi mencapai lebih dari USD 20 miliar.
Untuk menanggulangi masalah ini, pada April 2024, Indonesia membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Perjudian Daring lintas kementerian guna memerangi pertumbuhan pesat aktivitas perjudian ilegal tersebut.
Selain itu, sindikat kriminal sering kali memaksa pekerja terlibat dalam penipuan melalui tawaran pekerjaan palsu.
Kasus-kasus ini terus meningkat, mendorong PBB untuk menyerukan pemerintah di Asia Tenggara agar merespons dengan kebijakan yang lebih cepat dan regulasi yang lebih ketat.
Dalam laporannya, PBB merekomendasikan penguatan legislasi dan penegakan hukum sebagai langkah penting dalam menghadapi ancaman kejahatan terorganisir berbasis teknologi ini.
“Penguatan kolaborasi lintas negara dan investasi dalam teknologi untuk penegakan hukum sangat dibutuhkan guna mengekang ekspansi jaringan kriminal transnasional,” tutup laporan tersebut.
Komentar