Agenda Asing di Pemilu 2024? Etika Politik Rawe-rawe Rantas Malang-malang Putung!

Oleh: Andre Vincent Wenas

JurnalPatroliNews – Jakarta – Program hilirisasi yang dieksekusi dengan tegas dan konsisten oleh Jokowi telah membuat beberapa Negara asing mesti menelan pil pahit.

Mereka dulu memperoleh bahan mentah dengan murah, lalu memprosesnya di Negara mereka untuk menciptakan nilai tambah berlipat. Untuk melanggengkan praktek ini mereka mesti memastikan status-quo.

Begitulah praktek perdagangan internasional yang sudah beberapa dekade kita jalani. Kata para eksportir bahan mentah atau importirnya di Negara-negara tujuan, Indonesia khan sudah beruntung mendapatkan mereka sebagai pembeli bahan-bahan mentah itu.

Jokowi dalam pengakuannya sendiri bilang soal pada awalnya ada resistensi dari dalam negeri. Menyetop ekspor bahan mentah perlu nyali sang pempimpin, perlu keberanian yang luar biasa.

Para mafia tambang yang berkolaborasi dengan para agen pembelinya di luar negeri sontak saja melakukan perlawanan. Retaliasi dilakukan dengan cara halus maupun kasar. Black-campaign pun dihalalkan demi menggagalkan program hilirisasi ini.

Padahal kita sadar sepenuhnya, sejak dulu kita sudah bicara soal “value added economy”. Professor BJ Habibie melompat terlalu jauh dan cepat melampaui jamannya, sehingga pesawat-pesawatnya mesti parkir di hangar. Tapi ide dasarnya benar. Indonesia punya modal dasarnya: Manusia Indonesia dan penguasaan teknologi.

Sekarang tampil Jokowi dengan gaya berpolitiknya yang mengalir seperti arus bawah yang tak terlihat namun kuatnya luar biasa. Tak terbendung. Tetap tersenyum namun perjuangannya merajut koalisi besar terus melaju. Senyum yang sulit ditebak artinya.

Koalisi besar untuk apa? Untuk mengentaskan Indonesia dari “middle-income trap”. Kita sudah bertahun-tahun ada dalam pusaran itu, jangan sampai terlena seperti negara-negara Amerika Latin.

Adalah “real-politics” Indonesia untuk merajut koalisi besar, karena tanpanya mustahil memutar roda pemerintahan secara efektif. Gotong royong.

Jokowi belajar soal ini dalam lima tahun masa pemerintahannya yang pertama. Tak mau terulang lagi di lima tahun kedua, ia terus merajut koalisi besar itu. Konsisten dan persisten.

Komentar