Amandemen Kelima Untuk Rumuskan UUD Ber ‘DNA’ Pancasila

UUD 1945 yang asli juga asistemik karena sub-sub sistem kenegaraan di dalamnya belum saling terkait dan bersinergi. Model GBHN yang diterapkan, hanya mungkin diterapkan dalam negara dengan satu partai seperti negara komunis, tidak sesuai untuk negara demokrasi dengan pemilu yang berpotensi mengganti rezim berkuasa.

Lebih nyata lagi pada UUD hasil empat kali amandemen. Tanpa perubahan platform kenegaraan dari otoriter ke demokrasi, jiwa dan semangat otoriter serta rumusan batang tubuh yang akonstitutif dan asistemik tetap berlanjut. Amanatnya justru sering saling bertentangan antar lembaga negara.

Hal ini terlihat pada sistem demokrasi, di mana Pemilihan Presiden dilakukan langsung oleh rakyat (sistem presidensial), namun DPR dirancang seperti model parlementer. DPR menjadi wakil partai, bukan wakil rakyat, yang seharusnya menciptakan kondisi “chek and balance” dalam sistem presidensial. Partai yang ada sekarang tidak lagi menjadi wadah perjuangan orang-orang se-ideologi, melainkan digunakan untuk karir politik individu tertentu.

UUD Ber-DNA Pancasila: Solusi untuk Masa Depan Dengan kondisi moral elit bangsa yang kumuh dan pengelolaan negara yang buruk, sebagian elit sibuk mengusulkan penataran kembali P-4, seolah hafal nilai-nilai Pancasila akan menjamin moral mulia. Sebagian lain mengusulkan kembali ke UUD 1945 yang asli, seakan tidak memahami bahwa UUD tersebut bukan hasil elaborasi nilai-nilai luhur Pancasila.

Penerapan UUD 1945 yang asli selama lebih dari 35 tahun menunjukkan ketidakmungkinan mewujudkan tujuan dan cita-cita NKRI. Bung Karno telah mengamanatkan penyusunan UUD yang lebih sempurna pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, yaitu UUD yang mengelaborasi nilai-nilai Pancasila dan ber-DNA Pancasila.

UUD yang disusun harus konstitutif dan sistemik, berupa alat yang jelas dan pasti sebagai hukum dasar yang dijabarkan dalam UU dan turunannya. Validitasnya harus teruji baik secara teori maupun praktek negara lain. Hanya dengan demikian, 270 juta lebih rakyat Indonesia tidak lagi menjadi “kelinci percobaan” gagasan elit bangsa.

Penyusunan UUD ini harus dilakukan oleh ahli dalam lembaga independen, bukan partisan, sehingga “Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan” dapat terwujud. Pengesahan tetap dilaksanakan oleh MPR RI sebagai lembaga berwenang.

Komentar