JurnalPatroliNews – Purworejo – Tidak mudah ternyata menjadi seorang jurnalis, karena harus bisa paham situasi, kondisi dan lebih jeli terhadap apa yang sedang terjadi, apalagi bila sang jurnalis di tugaskan di daerah konflik, nyawa taruhannya.
Saya (Fery Santoro) disini ingin sedikit berbagi cerita, mengenang 20 tahun silam, saat saya tugas di stasiun tv swasta RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia).
Waktu itu, tahun 2003. Saya saat itu sebagai cameraman news RCTI ditugaskan oleh kantor untuk meliput di daerah konflik di Banda Aceh, saat itu tengah bergejolak pertempuran antara TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka).
Buat saya, tugas pertama kali di Aceh tersebut sangat menyenangkan, karena baru pertama kali menginjakan kaki di kota yang dikenal dengan sebutan Serambi Mekkah. Namun, rasa was-was pasti ada, karena Aceh lagi bergejolak.
Dengan tekad yang bulat dan juga ijin keluarga, saya berangkat lah ke Aceh bersama tim.
buat saya itu suatu pengalaman yang sangat berarti.
Selama seminggu liputan di Banda Aceh saya selalu ber partner dgn reporter senior RCTI Ersa Siregar. Liputan terakhir kami mengarah ke daerah Langsa untuk meliput pengungsian dan pos TNI AL (Angkatan Laut) di Langsa, Lhokseumawe.
Dalam perjalanan pulang menuju Lhokseumawe ada perasaan kurang tenang dalam hati saya, karena sepi sunyi tanpa ada yang melintas satupun. “Jalan hitam” istilah mereka, kalau kita bilang jalan provinsi.
Perasaan (tidak tenang) itu ternyata benar benar terjadi, saat kendaraan berjalan dengan kecepatan 80 KM/ jam tiba-tiba kami dihadang oleh sekelompok orang bersenjata, mereka keluar dari semak-semak.
Ccccc…..ttt!!! (bunyi ban direm menggesek jalan) Rahmad Syah, sopir RCTI tiba-tiba injak pedal rem mendadak, “Ya Allah, ada apa ini?, “ saya bertanya panik.
Belum terjawab pertanyaan saya, pintu dibuka secara paksa dan sopir disuruh turun oleh kawanan bersenjata, kemudi diambil alih.
Gerombolan itu ada 6 orang, masuk semua ke mobil sambil todongkan pistol.
“Semua, nunduk kepala!!” teriak mereka.
Hati saya campur aduk, takut mati, karena saat menunduk itu, saya masih tersadar pistol diarahkan ke kepala saya.
Saya berpikir, jangan-jangan ini GAM.
Saya dan bang Ersa serta lain nya dibawa ke tengah kampung jauh.
“Kamu dari mana!?” bentak salah satu anggota kelompok bersenjata, “Saya dari Jawa “ jawab saya sambil lemas badan.
“Wah Jawa, besok pagi mati nih. Kompeni nih.” “Pasti Pai (TNI.red) itu. Mata-mata tentara,” teriak mereka bersahutan.
Mendengar ancaman itu, saya hanya bisa pasrah.
Berbekal kamera besar di tangan, kelompok bersenjata itu percaya kalau kami wartawan.
Di tempat lain, Panglima Perang GAM, Teuku Ishak Daud meminta bawahannya untuk merawat dan menjaga keselamatan kami. Mendengar itu, Ersa dan saya mengaku lega. Tapi, hidup dalam penyanderaan baru saja dimulai.
“Kami selalu pindah-pindah demi hindari kejaran TNI. Kalau dirasa tidak aman, kami harus lewati semak, seberangi sungai dan hutan belantara,”
Komentar