Buku Harian Fery Santoro; Mengenang 20 Tahun Silam, 325 Hari Menjadi Sandera

Tidur beralaskan tikar, berbaring di samping macan kumbang harus kami lalui. Beruntung, tidak ada hewan buas yang menyerang kami.

“Bahkan orang GAM menanawarkan kami tidur di alas ular itu. Sempat bergidik sih, tapi dia bilang jangan takut. Ternyata tidak apa-apa,”

Negosiasi Buntu, Malam Tragis Bagi Ersa

Di luar sana, sejumlah LSM, organisasi pers hingga palang merah internasional meminta agar saya dan Ersa Siregar dibebaskan.

Hampir setahun lamanya, negosiasi pembebasan antara pemerintah Indonesia dan GAM selalu mengalami deadlock. Hingga ada suatu kesepakatan yang kami dengar melalui siaran radio local. Saya senang karena akan segera mendapatkan kebebasan.

Sebuah impian selama berbulan-bulan untuk kembali berkumpul bersama istri dan anak pun mengalir deras dalam pikiran.

Tapi, mimpi itu kembali tertunda.

Malam hari menjelang tewasnya Ersa, beberapa anggota GAM memutuskan turun gunung. Tak lupa, mereka meninggalkan empat pucuk senjata. Bahkan, menawari kami berdua memegang senapan tersebut, tapi ditolak sama saya.

“Kalau bisa gunakan senjata, pasti kami sudah tembak kalian,” canda saya saat itu.

Sepeninggal mereka, saya hanya dijaga seorang anggota GAM. Saya, bang Ersa dan seorang pria berusia lebih tua dari kami itu memilih beristirahat di dalam gubuk.

“Tiba-tiba ada tembakan. Dar-der-dor, rentetan tembakan dari semak-semak. Orang GAM yang sedang memasak diluar tewas kena tembakan,”

Tanpa pikir panjang, saya mencari cara untuk menyelamatkan diri dari desingan peluru. Sebuah lompatan kecil berhasil menyelamatkan nyawa saya dari tembakan yang mengarah ke kaki. Di tengah ketakutan, saya masih berupaya menyelamatkan rekannya, namun gagal

Ada tembakan di atas saya. Saya lompat, masuk ke semak, “Mana banyak duri, hingga badan saya penuh darah,”

Saya berhasil selamat dari serangan itu dan memilih bermalam di sebuah tempat.
Di sana, saya bertemu seorang pria yang sebelumnya bersama di gubuk. Sedangkan Ersa, rekan saya tak kunjung datang.

“Selama empat hari empat malam. Saya jalan mencari perkampungan. Mana harus lewati empat sungai.”

Sesampainya di kampung itu, bukan TNI yang ditemui, tapi anggota GAM lainnya, alhasil saya kembali menjadi sandera. Di tempat itu pula, saya mengetahui rekan saya (Ersa Siregar) telah tewas.

“Lemas badan saya. Saya bingung mau sama siapa lagi? Rekan saya sudah meninggal, tidak ada lagi yang temani saya,”

Jelang malam tahun baru 2004, saya akhirnya dibebaskan berkat upaya diplomasi yang dilakukan organisasi pers dan palang merah internasional.

Sesaat setelah keluar, saya hampir tak mengenali orang-orang terdekat, kecuali anak dan istri.

“Pengalaman mendebarkan itu terus terkenang.”

Cerita ini kutulis kembali seperti dalam buku harian semasa disandera, dokumen yang hingga kini disita Mabes TNI.

Komentar