Oleh: Andre Vincent Wenas
Kita pakai saja cerita dongeng para tetua kita. Mudah-mudahan bisa menenangkan tensi kita semua.
Alkisah suatu hari keledai dungu ngobrol dengan temannya harimau yang cerdas, isi percakapan mereka begini:
Keledai, “Rumput itu berwarna biru.”
Harimau menjawab, “Tidak dong, rumput itu warnanya hijau.”
Terjadi perdebatan. Diskusi jadi memanas, dan akhirnya keduanya memutuskan untuk membawa masalah itu ke depan singa si Raja Hutan yang bijaksana.
Baru sampai gerbang depan sebelum sampai di tempat singa duduk di singgasananya, keledai sudah berteriak-teriak, “Rumput warnanya biru, rumput warnanya biru”, begitu terus celotehnya. Akhirnya sampai di depan singgasana, “Yang Mulia, benarkah rumput itu warnanya biru?”, tanya keledai dengan wajah dungunya.
Singa memandang keledai, akhirnya menjawab datar, “Benar, rumput itu berwarna biru.”
Keledai girang bukan kepalang, lalu dengan bergegas ia melanjutkan, “Tapi harimau itu tidak setuju denganku dan menentang serta menggangguku. Tolong hukum saja dia”.
Singa si Raja Hutan kemudian bersabda, “Harimau ini akan mendapatkan hukuman”.
Keledai itu pun girang bukan kepalang untuk kedua kalinya, melompat-lompat dengan riang dan melanjutkan perjalanannya, puas, sambil mengulangi kredonya, “Rumput itu warnanya biru, rumput itu warnanya biru”, begitu seterusnya.
Tinggalah harimau dengan singa si Raja Hutan. Harimau yang cerdas itu kebingungan dan ia pun akhirnya bertanya kepada singa, “Yang Mulia, mengapa anda menghukumku? Lagipula, sebenarnya rumput itu warnanya hijau khan?”.
Singa si Raja Hutan menjawab dengan nada bijak, “Memang benar katamu rumput itu warnanya hijau.”
Harimau bertanya, “Lalu, mengapa justru aku yang di hukum?”
Singa menjawab tenang, “Itu tidak ada hubungannya dengan pertanyaan apakah rumput itu warnanya biru atau hijau. Hukumannya adalah karena tidaklah bijaksana makhluk pemberani dan cerdas sepertimu membuang-buang waktu untuk berdebat dengan keledai dungu lalu datang dan menggangguku dengan pertanyaan itu.”
Buang-buang waktu. Pemborosan waktu terburuk adalah berdebat dengan orang dungu dan fanatik yang tidak peduli dengan kebenaran atau kenyataan. Hanya berpegang para keyakinan yang didasarkan rasa kebencian, jadinya ilusi dan halusinasi. Pandangannya jelas myopic, maka janganlah pernah membuang-buang waktu untuk adu argumen dengan pihak yang tidak memakai akal sehat.
Kedunguan tidak peduli seberapa banyak bukti yang kita berikan, mereka tidak mau sehingga tidak mampu memahami realitas. Mereka telah dibutakan oleh kegelapan ego, rasa kebencian dan dendam yang mendalam. Istilahnya sudah kesumat.
Satu-satunya yang mereka inginkan hanyalah kebenaran menurut versi mereka sendiri, meskipun sebenarnya tidak bersesuaian dengan realitas itu sendiri.
Ingatlah, ketika ketidak tahuan berteriak lantang, berkoar-koar kesana-kemari mencari perhatian, maka kecerdasan tunduk terdiam, bungkam. Janganlah lupa, kedamaian dan ketenangan kita lebih berharga.
Moral cerita, janganlah berdebat dengan keledai, hanya buang-buang waktu saja. Mark Twain bilang, “Tidak ada bukti yang bisa meyakinkan orang bodoh”. Percuma.
Ada ironi tajam dari pernyataan Mark Twain ini, tentang sifat keras kepala dan bias manusia. Ketika seseorang sudah memutuskan untuk percaya pada sesuatu, bukan karena fakta tetapi karena emosi atau keyakinan yang tidak rasional, maka bukti sekuat apa pun tak akan mengubah pikirannya.
Kebodohan dalam konteks ini bukan soal rendahnya kecerdasan, tetapi sikap menutup diri terhadap kebenaran. Orang yang terjebak dalam kebodohan cenderung mempertahankan pendapatnya mati-matian meskipun jelas keliru. Ia menolak logika, menyangkal data, dan hanya menerima hal-hal yang sesuai dengan prasangkanya.
Inilah yang membuat dialog atau diskusi menjadi buntu — karena orang seperti itu tidak sedang mencari kebenaran, melainkan pembenaran.
Kutipan ini mengajak kita untuk lebih rendah hati dalam berpikir. Bukan hanya agar tidak menjadi si “bodoh” yang tak bisa diyakinkan, tetapi juga agar kita tahu kapan harus berhenti berdebat — sebab kadang, membuktikan sesuatu bukan soal menyampaikan kebenaran, tapi menunggu kesiapan orang lain untuk menerimanya.
(Catatan: Beberapa paragraf bersumber cerita yang beredar di media sosial).
Jakarta, Senin 5 Mei 2025
*Andre Vincent Wenas*,MM,MBA., Pemerhati soal Ekonomi dan Politik, Direktur Ekskutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.
Komentar