Bocornya anggaran negara kerap berbentuk “bocor-halus”. Ambil contoh untuk pemberantasan kemiskinan maka pejabat pemerintah mendesain program “studi banding” ke Australia dan negara-negara maju lainnya.
Setelah atau sebelum itu, dilakukanlah “focus group discussion” soal kemiskinan oleh Kementerian atau Lembaga ini dan itu di hotel bintang empat atau lima. Kemudian dengan semangat empat lima melahirkan laporan-laporan diskusi setiap semester yang akhirnya cuma ditumpuk di ruang-ruang arsip Kementerian atau Lembaga.
Berkas-berkas itu tidak dibaca atau ditindak lanjuti, hanya sekedar jadi laporan bahwa rencana pengentasan kemiskinan sudah dilaksanakan di ruang pertemuan mewah hotel bintang empat atau lima.
Di penghujung tahun tumpukan kertas itu pun dijual di pasar loak untuk jadi pembungkus gorengan yang kemudian dikonsumsi rakyat miskin.
Begitulah sirkulasi “pengentasan kemiskinan” sudah direncanakan dan didiskusikan terus dalam sirkuit wacana. Seperti roda hamster yang berputar-putar tapi tidak kemana-mana.
Di tengah residu pandemi global yang terjadi, perekonomian Indonesia alhamdulillah masih berada di atas rata-rata capaian ekonomi dunia. Semua negara sedang konsentrasi untuk agenda domestiknya masing-masing.
Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump sekarang ini dengan agenda “America First”-nya boleh saja dibilang berbau chauvinistic oleh beberapa kalangan. Tapi ya itulah kenyataan yang sedang terjadi di muka kita. Kita pun di tengah peta geo-politik global yang terus bergerak dinamis mesti bersikap “Indonesia First”, mengapa tidak?
Program domestikasi (atau nasionalisasi) Freeport yang sekarang mayoritas kepemilikannya ada di tangan Indonesia, lalu hilirisasi berbagai industri, akan terus dilanjutkan. Presiden Prabowo Subianto sudah mengingatkan agar kita jangan lengah bahwa 40 persen jalur perdagangan dunia itu melewati wilayah Indonesia.
Tugas kita untuk bisa mengapitalisasinya menjadi kesempatan (opportunity) dan kekuatan (strength). Posisi geo-strategis yang menghubungkan dua samudera dan dua benua adalah faktisitas dan sekaligus berkat. Tergantung bagaimana kita bersikap.
Dengan kenyataan Indonesia yang bakal menuai bonus demografi di tahun 2030 sampai 2045 nanti pemerintah mau tidak mau mesti menetapkan skala prioritas (pareto principle) dalam menentukan kebijakan yang bisa melepaskan bangsa dari perangkap negara berpenghasilan menengah. It’s now or never, peluang emas ini tidak bakal terulang dalam seratus tahun lagi.
Sekedar mengingatkan, dulu dipenghujung tahun 1993, Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo (ayah dari Presiden Prabowo Subianto) pernah memberikan caveat (peringatan dini), bahwa anggaran negara bocor sekitar 30 persen. Ini bukan main-main.
Beliau pun kasih rasionalisasinya. Angka sebesar itu diperoleh dari ICOR Indonesia yang pada waktu itu sebesar 5 sementara ICOR rata-rata negara ASEAN sekitar 3,5. ICOR adalah Incremental Capital Output Ratio, atau rasio yang menunjukkan perbandingan antara tambahan investasi dengan tambahan output.
ICOR merupakan indikator ekonomi makro yang menggambarkan efisiensi perekonomian suatu daerah. Waktu itu (tahun 1993) selisih ICOR Indonesia dan rata-rata negara ASEAN adalah 1,5. Kalau dibagi 5 kemudian dikalikan 100 persen hasilnya ya 30 persen.
Waktu itu jadi heboh, tadinya Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo bilang anggaran nagara bocor, kemudian direvisi jadi bukan bocor tapi “inefisien” alias “tidak ekonomis” atau “salah kelola” sebesar 30 persen. Bahasanya “disopanisir”, dari pada dibilang anggaran negara “dikorupsi” atau “bocor” sebanyak 30 persen khan lebih sopan kalau dibilang “inefisien” sebanyak itu.
Komentar