Gibran di Persimpangan Politik: Semua Bergantung pada Prabowo

JurnalPatroliNews – Jakarta – Arah masa depan politik Gibran Rakabuming Raka saat ini berada di bawah kendali penuh Presiden Prabowo Subianto. Tentu, sebagian orang akan menyebut bahwa nasib manusia ditentukan oleh Tuhan. Benar. Namun dalam praktik politik, “kuasa Tuhan” itu seringkali hadir melalui tangan para pemegang kendali kekuasaan dalam hal ini, Prabowo.

Pasangan Prabowo-Gibran melaju bersama dalam Pemilu 2024 sebagai satu paket. Kini, keduanya menjabat sebagai presiden dan wakil presiden dalam satu kesatuan. Maka, setiap dinamika yang menyangkut Gibran otomatis menyentuh orbit kekuasaan Prabowo. Apalagi, saat ini roda pemerintahan baru memasuki babak awal, tahun pertama.

Ketika wacana pemakzulan terhadap Gibran mulai menyeruak, Prabowo memilih diam. Reaksinya datar, bahkan terkesan membiarkan isu ini mengapung tanpa arah. Lewat pernyataan yang disampaikan oleh Wiranto, respons Prabowo tampak santai dan tanpa tekanan. Seakan badai itu hanya angin lalu.

Namun, di balik diamnya Prabowo, tekanan politik terhadap Gibran semakin membesar. Surat resmi yang memuat tuntutan pemakzulan bahkan disebut telah berada di meja Ketua MPR. Menariknya, baik Prabowo maupun Partai Gerindra memilih tak mengeluarkan sepatah kata pun. Ahmad Muzani, Sekjen Gerindra yang juga menjabat sebagai Ketua MPR, pun enggan memberikan komentar.

Situasi Gibran makin terjepit karena tidak memiliki dukungan kursi legislatif. Tanpa sokongan partai di DPR, posisi politiknya sangat rentan. Bisa dikatakan, Gibran seperti bidak yang siap disingkirkan kapan saja. Tombol pemakzulan sudah tersedia. Kapan pun bisa ditekan.

Andai Prabowo memutuskan memberi aba-aba, sidang MPR untuk menggulingkan Gibran bisa digelar dalam hitungan jam. Sebagai Ketua MPR, Muzani hanya perlu melaksanakan sinyal dari atas. Di sinilah posisi strategisnya terlihat nyata—titik pusat kekuasaan legislatif yang sejalan dengan arus istana.

Sementara itu, Presiden Joko Widodo melemparkan pesan yang sarat makna: jika pemakzulan dijalankan, maka harus berlaku bagi keduanya. Presiden dan wakil presiden adalah satu paket, dari awal hingga akhir. Ucapan itu bukan sekadar pernyataan normatif, tapi sinyal politik yang dalam.

Jokowi, yang telah malang melintang di dunia pemerintahan mulai dari wali kota, gubernur, hingga dua periode presiden, tahu betul cara meramu pesan dengan nuansa politis. Saat ia bicara soal “satu paket”, itu bukan untuk dibaca secara yuridis semata. Di balik kalimat itu tersimpan strategi dan kalkulasi matang.

Komentar