Kebijakan Presiden Prabowo Terkait Hukuman Mati Bagi Korupsi Di Uji Publik

Catatan : Nyoman Sarjana Pekerja Media

Dengan semua kekacauan ini, masyarakat yang tadinya bersorak-sorai mendukung kebijakan ini mulai bertanya-tanya apakah ini benar-benar cara terbaik untuk memberantas korupsi atau justru malah menciptakan ketakutan yang melumpuhkan roda pemerintahan. Dalam sebuah forum akademik di Universitas Indonesia, sekelompok pakar hukum mulai menyuarakan keprihatinan mereka terhadap kebijakan hukuman mati bagi koruptor Rp1. Menilai bahwa kebijakan ini bisa digunakan sebagai alat politik untuk menyingkirkan lawan-lawan tertentu.

Beberapa anggota DPR yang sebelumnya diam kini mulai mengangkat isu ini dalam rapat pleno, berusaha mencari celah hukum yang memungkinkan revisi kebijakan sebelum lebih banyak pejabat yang terseret ke dalam jurang kematian akibat pelanggaran administratif kecil. Di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, sebuah gugatan uji materi mulai diproses, diajukan oleh koalisi berbagai organisasi masyarakat sipil yang menganggap kebijakan ini melanggar asas keadilan dan proporsionalitas dalam hukum pidana.

Para jaksa di kejaksaan negeri pun mulai kebingungan menentukan kasus mana yang layak dihukum mati dan mana yang masih bisa diberikan sanksi administratif. Karena aturan baru ini begitu ketat hingga tidak menyisakan ruang untuk fleksibilitas hukum. Di sisi lain, beberapa pengusaha mulai membentuk aliansi rahasia untuk melobi pemerintah agar memberikan pengecualian bagi sektor bisnis tertentu yang selama ini selalu bersinggungan dengan anggaran negara. Dengan semakin banyaknya suara penolakan, pertanyaan besar pun muncul.

Apakah Prabowo akan bertahan dengan kebijakan ini atau ia akan mengambil langkah mundur demi menye Selamatkan stabilitas pemerintahan. Sementara itu di kalangan birokrasi muncul satu aturan tidak tertulis yang kini semakin populer. Jika ragu, jangan tanda tangan apapun karena Rp1 bisa menjadi tiket ke liang kubur. Suasana di Lapas Nusa Kambangan terasa tegang pada pagi itu.

Ketika seorang mantan pejabat Dinas Pendidikan di sebuah kabupaten kecil menjadi orang pertama yang dieksekusi mati karena terbukti mengalihkan dana beasiswa sebesar Rp1.500 untuk membeli kopi dan rokok selama rapat internal. Media nasional dan internasional langsung berebut menyiarkan detik-detik menjelang eksekusi, sementara para pendukung kebijakan ini bersorak puas menganggap ini sebagai bukti nyata bahwa era cuma di penjara lalu bebas bagi koruptor benar-benar berakhir.

Di sisi lain, organisasi HAM dalam dan luar negeri berbondong-bondong mengutuk eksekusi ini menyebutnya sebagai tindakan yang berlebihan dan melanggar prinsip keadilan, tetapi pemerintah Indonesia bersiku bahwa ini adalah langkah yang diperlukan untuk menciptakan efek jera. Wawancara eksklusif dengan keluarga terpidana yang disiarkan di televisi nasional menambah dramatisasi kasus ini, di mana istri dan anak-anaknya menangis histeris dan mengklaim bahwa ia hanya korban sistem birokrasi yang carut-marut, bukan kriminal besar yang layak ditembak mati.

Komentar