Presiden Prabowo, saat ditanya wartawan mengenai eksekusi ini, hanya menjawab dengan singkat, hukum harus ditegakkan, seberapapun kecil nominalnya, karena korupsi adalah penyakit yang harus kita cabut sampai ke akar-akarnya. Namun, di balik ketegasan pemerintah, muncul pertanyaan di kalangan elit politik dan birokrasi. Jika uang kopi dan rokok saja bisa membuat seseorang dihukum mati, siapa yang akan menjadi korban berikutnya?
Ketakutan yang sebelumnya hanya mengendap di balik meja-meja kementerian kini berubah menjadi kepanikan nyata di mana para pejabat tinggi mulai mendesak hukum untuk direvisi sebelum lebih banyak korban berjatuhan. Hanya dalam waktu beberapa minggu sejak eksekusi pertama, efek kebijakan ini mulai terasa lebih luas ketika berbagai proyek infrastruktur nasional mendadak terhenti karena pejabat-pejabat yang tanggung jawab menolak mengambil keputusan apapun yang berkaitan dengan anggaran.
Pembangunan jalan tol yang seharusnya selesai dalam waktu 6 bulan kini terbengkalai karena tidak ada pejabat yang berani menandatangani pencairan dana. Takut jika nanti ada satu rupiah yang salah hitung, nyawa mereka jadi taruhannya. Para kontraktor swasta yang selama ini mengandalkan proyek pemerintah pun mulai kehilangan kepercayaan terhadap sistem. Beberapa bahkan memilih mundur dari kontrak mereka dan mengalihkan investasi ke negara lain yang lebih masuk akal dalam menegakkan hukum. Di beberapa Apa daerah?
Walikota dan Bupati mulai memilih jalan aman dengan menolak mencairkan anggaran daerah untuk proyek sosial seperti bantuan UMKM. Khawatir kalau ada kesalahan administrasi yang bisa mengantarkan mereka ke Regu Tembak. Pemerintah pusat mulai menerima laporan dari berbagai kementerian bahwa birokrasi mengalami stagnasi total. Dengan para pegawai negeri sipil lebih sibuk mencari cara untuk menghindari tanggung jawab daripada menjalankan tugas mereka. Akibatnya, masyarakat yang awalnya mendukung kebijakan ini mulai berubah haluan setelah merasakan langsung dampaknya.
Layanan publik memburuk, proyek pembangunan macet dan ekonomi daerah mulai melambat karena anggaran tak kunjung dicairkan. Sejumlah ekonom nasional memperingatkan bahwa jika kebijakan ini tidak segera dievaluasi, maka Indonesia berisiko mengalami resesi administratif di mana pemerintah lumpuh bukan karena kekurangan dana, tetapi karena ketakutan ekstrem di antara para pengambil keputusan.
*)Nyoman Sarjana Pekerja Media Pecinta Kopi Pahit
Komentar