Memang figur Hasan Nasbi ini jadi beban, tapi bagi mereka yang berada di barisan sakit hati itu. Banyak logika argumen mereka selalu patah dibuatnya. Hasan Nasbi ini memang beban berat buat mereka para penyinyir dan pembenci Jokowi, Prabowo dan Gibran. Terimalah kenyataan itu.
Kepiawaiannya memetakan arena perdebatan dan menentukan skala prioritas komunikasi kepresidenan membuat para pembenci kelimpungan dalam upaya mereka menebar kebencian.
Upaya mereka yang selalu membungkus informasinya dengan teknik penyesatan logika dan fitnah ala Joseph Goebels, sang agitator andalan Hitlers selalu berhasil dipatahkan Memang Hasan Nasbi adalah beban berat bagi barisan sakit hati, maka harus disingkirkan, kalau perlu lewat operasi DFK yang bertubi-tubi.
Sudahlah, pendeknya semua hal yang bisa dipakai untuk mendiskreditkan Jokowi berikut “warisannya”, termasuk KKK atau PCO, presidential communication office, akan terus digoreng berulang-ulang sampai gosong. Supaya, sekali lagi: 1) kewibawaan Jokowi runtuh, dan 2) duet Jokowi-Prabowo retak. Kalau perlu operasi politik jahat ini bisa sekaligus meruntuhkan Gibran dan Hasan Nasbi.
Tapi kegundahan barisan sakit hati ini nampaknya masih akan terus berlangsung, seiring semakin seringnya Prabowo memuji Jokowi secara terbuka dan semakin padatnya antrian rakyat jelata di gang Sumber.
Tambah lagi sekarang oleh agen travel yang malah menjadikan “wisata Jokowi” sebagai menu kunjungan favorit ke kota Solo. Siapa tahu bisa selfie atau malah dikasih oleh-oleh Jokowi atau oleh Ibu Iriana secara langsung. Foto ini bisa jadi top-story di laman medsosnya masing-masing.
Mengamati fenomena antrian di gang Sumber ini memang menarik. Bahkan sebagian dari “pendemo ijazah palsu” pun yang berkunjung diterima oleh Jokowi. Mereka dikasih pengertian bahwa mereka tidak punya wewenang untuk memeriksa, dan sebaliknya Jokowi pun sama sekali tidak wajib untuk menunjukkannya kepada mereka. Terkecuali hakim meminta dalam pengadilan untuk menunjukkan, maka Jokowi akan taat.
Tapi sebagai orang yang berpendidikan, tentu bisa mencerna hal yang sederhana ini, Jokowi sudah dua kali jadi walikota Solo, sekali jadi gubernur Jakarta, dua kali jadi presiden dan pastilah semuanya melewati proses seleksi dan verifikasi yang ketat entah dulu di partainya (PDIP) dan kemudian di KPU. Tambah lagi pihak UGM sendiri yang menjamin, belum lagi cerita teman-teman seangkatan Jokowi memberi kesaksian. Apakah semua itu belum cukup?
Secara hukum pun aturannya jelas, siapa yang menuduh maka dia yang mesti membuktikannya. Bukan pihak yang dituduh yang mesti kelimpungan menunjukkan bukti. Istilah hukumnya, barang siapa yang mendalilkan maka dialah yang harus membuktikan.
Komentar