Islah Bersama Anak PKI, Korban Kekerasan Dan Pendholiman Negara Dimasa Lalu

Oleh: Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi.

JurnalPatroliNews – “Turning Point” yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo sejak masa pemerintahannya yang pertama dalam bentuk pemihakan nyata terhadap rakyat kecil dan kebijakan dalam menyongsong perubahan jaman membuat “Lawan Politik” nya sulit untuk menemukan issue nasional yang bersumber dari aspirasi rakyat yang murni. Yaitu, aspirasi yang manakala diabaikan Pemerintah otomatis akan melahirkan frustasi publik yang akumulasinya akan menghancurkan legitimasi dirinya sampai pada titik nadir terendah yang  pada gilirannya yaitu ketika ada “triger” dalam waktu cepat akan terjadi kekacauan sosial dan bahkan “riot” yang baru akan berhenti manakala Presiden JKW mengundurkan diri.

PKI Bangkit Sebagai Issue ABSURD.

Dahulu biaya APBN sektor pendidikan justru dinikmati oleh keluarga kaya, kini pendidikan untuk semua. Begitu kesehatan, dahulu 99 % lebih anak bangsa kalau sakit perginya ke Dukun atau Yai minta Air untuk mendapatkan safaat. Kini segenap anak bangsa bisa menikmati fasilitas kesehatan. Begitu besarnya jumlah keluarga miskin, kini teratasi dengan sejumlah program bantuan, sehingga berita BUSUNG LAPAR tidak lagi terdengar. Sementara itu parktek mafia dan kasus MEGA KORUPSI tak terkecuali yang terjadi dimasa lalu satu per satu dibongkar. Dan masih banyak lagi perubahan yang tengah dikerjakan Pemerintahan JKW.

Lantas issue yang mana lagi yang bisa diangkat sebagai issue nasional, kalau bukan soal sisa sisa propaganda masa lalu yang terlanjur melekat pada “bawah sadar” sebagian anak bangsa khususnya dilingkungan ummat Islam dan Purnawirawan TNI/Polri yaitu “Bahaya Latent Komunisme” dan atau “PKI Bangkit”.

Padahal dari validitas keilmuan maupun fakta lapangan ditingkat dunia sekalipun, issue tersebut sesungguhnya ABSURD sama sekali tidak relevan dan menyesatkan. Bagaimana mungkin komunisme sebagai ideologi yang nyata-nyata telah bangkrut untuk era kekinian akan bangkit dan apalagi di kita yang sudah terlanjur masuk dalam era demokratisasi.

Sementara sejumlah anak-anak keluarga PKI yang sekarang sempat menjadi pejabat tinggi baik di Pemerintahan, DPR RI, DPR RI dan lembaga negara lainnya sama sekali tidak ada hubungannya dengan komunisme dan PKI. Mereka sukses berkat kerja keras dan integritas dirinya. Disisi lain perangkat hukum yang melarangnya masih SAH berlaku.

Perseteruan Politik Antara Kubu Rezim Masa Lampau.   

Berangkat dari peta politik aktual, sesungguhnya kegaduhan politik yang terjadi selama ini adalah akibat dampak dari perseteruan politik antara pewaris “isme” Bung Karno (Sebut Kubu BK) yaitu kekuatan massa dalam jumlah besar yang selama Orde Baru termarginalkan dengan kubu pewaris “isme” Suharto (Sebut kubu HMS) dalam arti kekuatan ekonomi disamping  juga  politik yang begitu kokohnya.

Adapun penyebab utama yang melatar belakanginya adalah rasa ketakutan kubu HMS terhadap politik balas dendam dari kubu BK. Mereka tahu persis bagaimana anak-anak PKI selama berpuluh tahun dengan stigma politik “Bersih Lingkungan” bagi yang wanita hanya berpeluang menjadi Pelacur dan PRT, sementara lapangan kerja bagi yang pria tak lebih sebagai Tukang Tambal Ban, Kuli Bangunan  dan atau Tenaga Kasar lainnya. Dan karena KKN anak bangsa yang terlahir dari keluarga miskin harus tetap miskin karena tidak memiliki alat produksi, sementara berkah Tuhan yang melimpah berupa Sumber Daya Alam hanya dikuasai sejumlah kroni penguasa. Dan kalau kita mau jujur, Presiden JKW terlanjur dijadikan simbul sekaligus diposisikan mewakili kubu BK.

Adalah manusiawi kalau kubu HMS yang tidak bergabung dan atau tidak mempunyai akses ke Pemerintahan JKW merasa eksistensi dan masa depannya menjadi terancam Dan bagi mereka untuk membiayai gerakan politik dengan pengerahan massa sekalipun dan apalagi sekedar menghidupi  Buzzer Medsos, hanyalah uang kecil saja.

Sejumlah tokoh yang dimasa bermasalah baik karena pelanggaran HAM maupun kaum Mafioso serta Koruptor, otomatis bersinergi dengan kubu HMS. Sedang akses kubu HMS ke lingkungan ummat Islam menjadi mudah karena HMS sendiri sejak awal pemerintahannya secara bertahap memanfaatkan tokoh dan atau anak tokoh yang dimasa lampau menjadi korban kekerasan negara dalam kasus yang berlatar belakang “Islam” seperti PRRI, Permesta, DI/TII  dan terakhir HMS lah yang membidani lahirnya ICMI. Tapi bangsa ini sungguh beruntung, karena sebagian besar tokoh Intelektual Islam, terlebih yang berada di kepartaian tetap menjaga diri tidak ikut-ikutan terlibat politik murahan.

Sudah barang tentu kegaduhan politik yang terjadi akan terus belanjut, karena sejak reformasi ditahun 1998 hingga saat ini kita tidak menerapkan kebijakan “Potong Generasi” ataupun “Pembuktian Terbalik”, sehingga proses “turbulensi elit” mustahil bisa dihentikan dalam 3-5 dekade kedepan.

Islah Sebagai Kebutuhan Mendesak.         

Dengan merujuk norma keillahian yang diajarkan semua agama bahwa “dibalik masalah niscaya ada hikmah”, maka untuk menghentikan kegaduhan politik yang menghabiskan waktu, tenaga dan uang uang negara yang tidak kecil,  lebih dari itu  bisa membuat Pemerintah tidak bisa efektif dalam melaksanakan tugas pokoknya, maka diperlukan kesadaran elit bangsa untuk sesegera mungkin melaksanakan Rekonsiliasi atau Islah.

Untuk itu peran sungguh mulia kalau sejumlah mantan pimpinan TNI (AD) yang dahulu karena jabatannya telah melaksanakan tugas negara disertai dengan jatuhnya korban yang belakangan disebut Pelanggaran HAM, perlu mencontoh sebagaimana yang dikerjakan Jenderal TNI (Purn) Tri Sutrisno dalam menuntaskan  kasus Tanjung Priok.

Dengan jujur mengakui kesalahan dan bisa menunjukkan dimana kuburan para korban seraya berserah diri seraya memohon pengampunan dari keluarga korban. Dengan demikian,  semua persoalan status Pelanggaran HAM BERAT akan selesai tuntas sebelum Tuhan memanggilnya “pulang”, dan kelak anak cucu mereka tidak perlu menyandang predikat sebagai keturunan Pelanggar HAM Berat.

Dan karena kedepan kita perlu membangun ETIKA MORAL dalam bernegara, maka sungguh mulia kalau disusul dengan permohonan maaf dari para mantan pejabat baik sipil maupun TNI/Polri yang sejak masa dinas aktifnya bergelimangan dengan harta. Kiranya perlu disadari bahwa sesungguhnya rakyat tahu berapa jumlah Gaji yang dahulu diterimanya. Bukankah sekedar untuk menutup kebutuhan dasar rumah tangga bulanan saja dipastikan TIDAK CUKUP. Permohonan maaf yang dimaksud dalam bentuk pemutihan kekayaan, dengan mengembalikan sebagian dari kekayaannya yang dimilikinya. Dengan contoh dari kedua kelompok mantan pejabat yang dahulu mengawaki negara tersebut diatas, kiranya untuk melakukan pemutihan kekayaan dari lingkungan pengusaha swasta yang dahulu diperoleh melalui KKN, bukanlah hal yang sulit untuk dilaksanakan.

Dengan ISLAH, maka bangsa ini bisa menutup carut marut peradaban masa lalu dan akan memulai hidup dengan lembaran baru, sehingga sebagai bangsa bisa bersatu padu bersama Pemerintah menyongsong perubahan jaman untuk menuju Indonesia Maju. Dan untuk itu semua diperlukan strategi khusus agar segalanya dilakukan dengan damai dan penuh kekeluargaan, demi masa depan NKRI.

*Mantan Anggota Fraksi ABRI DPR RI.

Komentar