Kampanye Kolom Kosong dalam Pilkada: Fenomena Demokrasi atau Kekosongan Hukum?

JurnalPatroliNews – Pangkalpinang – Fenomena calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang memunculkan kolom kosong di surat suara telah menimbulkan perdebatan luas, termasuk tanggapan dari Koordinator Divisi Hukum, Pencegahan, Parmas, dan Humas Bawaslu Kota Pangkalpinang, Wahyu Saputra.

Keberadaan kolom kosong ini menjadi ruang alternatif bagi pemilih yang tidak setuju dengan calon tunggal yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun, fenomena ini juga membawa sejumlah pertanyaan serius tentang regulasi hukum, legitimasi demokrasi, dan dinamika kampanye.

Kolom Kosong: Ruang Alternatif Tanpa Kekosongan Hukum

Secara teknis, kolom kosong bukanlah pasangan calon resmi yang terdaftar dalam pemilihan. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 100/PUU-XIII/2015 dan Nomor 14/PUU-XVII/2019, kolom kosong di surat suara bukanlah peserta pemilihan, tetapi “tempat” bagi pemilih yang tidak setuju dengan calon tunggal untuk menyuarakan pilihan mereka.

Meski demikian, eksistensi kolom kosong ini tetap diakui sebagai bagian dari sistem pemilu, yang memberikan ruang demokrasi bagi kelompok yang tidak setuju dengan kandidat tunggal tersebut.

Wahyu Saputra menegaskan bahwa karena kolom kosong bukan peserta pemilu, Bawaslu tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penertiban terhadap spanduk atau baleho yang mengajak pemilih untuk memilih kolom kosong.

Meskipun ada berbagai norma hukum terkait kolom kosong, seperti putusan MK, yang menegaskan bahwa kolom kosong bukan pasangan calon, namun hal ini menciptakan “kekosongan hukum” dalam konteks kampanye.

Kampanye Kolom Kosong: Tindakan Demokrasi atau Pelanggaran Hukum?

Kampanye dalam pilkada diatur ketat oleh hukum kepemiluan, dan hanya pasangan calon yang secara resmi terdaftar yang berhak melakukan kampanye.

Dalam hal ini, kolom kosong tidak bisa dianggap sebagai pihak yang dapat melakukan kampanye karena kolom kosong bukan pasangan calon, tidak memiliki visi-misi, dan tidak dapat menunjuk tim kampanye yang resmi.

Namun, dalam praktiknya, banyak relawan atau kelompok masyarakat yang memasang spanduk atau baleho untuk mengajak pemilih memilih kolom kosong. Ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah ajakan memilih kolom kosong bisa dianggap sebagai bentuk kampanye?

Dari perspektif hukum, ajakan memilih kolom kosong bukanlah kampanye formal karena tidak ada visi-misi atau program yang disampaikan. Kolom kosong hanya menjadi opsi bagi pemilih yang ingin menunjukkan ketidaksetujuan mereka terhadap calon tunggal yang ada, sebagaimana dijelaskan dalam putusan MK.

Komentar