Kapolri Listyo Sigit Prabowo: Tegas dan Cetar Membahana dalam Pernyataan, Namun Inkonsistensi & Sepi dalam Tindakan

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H, Advokat, Kuasa Hukum SK Budiardjo & Nurlela

“Apabila di dalamnya ada temuan-temuan yang berpotensi melanggar hukum, tentunya aparat penegak hukum yang terlibat di dalamnya, Kejaksaan dan Kepolisian, dan lainnya akan melakukan rapat, (membahas, red.) langkah apa yang akan kami lakukan,”[Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo, 25/9]

Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo belum lama ini mengatakan bahwa pihaknya sedang mengkaji dugaan penyelewengan dana Pekan Olahraga Nasional XXI Aceh-Sumatera Utara. Kapolri juga mengatakan bahwa Kepolisian berkomitmen mengawal dugaan penyelewengan dana tersebut sesuai dengan Keputusan Presiden RI Nomor 24 Tahun 2024 tentang Satgas Pengawalan Penyelenggaraan PON XXI 2024 di Aceh dan Sumut dan Pekan Paralimpiade Nasional XVII 2024 di Jawa Tengah.

Hanya saja, pernyataan ini terkesan hanya cetar membahana dalam tataran statemen, tapi boleh jadi akan kembali nol komitmen dalam tataran realisasi.

Bukan bermaksud mendelegitimasi pernyataan Kapolri, atau lebih jauh tidak mempercayai proses hukum yang akan ditempuh. Namun dalam kasus yang penulis tangani, komitmen menegakkan hukum seorang Listyo Sigit Prabowo, sangat patut dipertanyakan.

Untuk mengukur komitmen dan konsistensi penegakan hukum seorang Listyo Sigit Prabowo, hemat penulis tak perlu melangkah jauh ke Aceh atau Sumatera Utara yang hanya sebatas rencana investigasi. Kasus yang penulis tangani, yakni peristiwa perampasan tanah rakyat oleh oligarki property yang telah dilaporkan ke Mabes Polri, nyatanya tidak ditindaklanjuti, meskipun peristiwa itu ada didepan hidung pejabat Kapolri saat ini.

Adalah SK Budiardjo & Nurlela, korban mafia tanah, korban Perampasan Tanah untuk memenuhi hasrat kerakusan oligarki property yang dituduh memalsukan dokumen oleh Agung Sedayu Group melalui anak usahanya, PT Sedayu Sejahtera Abadi (PT SSA). Keduanya dituduh memalsukan dokumen bukti kepemilikan tanah berupa Girik C.1906 Persil 36 S.II seluas 2.231 M² dari ABDUL HAMID SUBRATA, dan tanah dengan Girik Girik C.5047 Persil 30 S.II. seluas 548 M² dari EDY SUWITO.

Keduanya akhirnya divonis 2 tahun penjara karena dianggap menggunakan keterangan palsu dalam dokumen, dianggap melanggar Pasal 266 ayat (2) KUHP.

Anehnya, Penyidik Polri berat sebelah, tidak profesional dan terkesan dibawah kendali Agung Sedayu Group. Kasus yang dilaporkan Agung Sedayu Group diproses, sementara laporan SK Budiardjo dan Nurlela diabaikan. Kasus yang pernah sampai di meja Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, yang ketika itu menjabat Kadiv Propam, hingga saat ini tidak jelas kelanjutannya.

Kasus bermula pada tahun 2006, ketika SK Budiardjo & Nurlela membeli tanah dengan bukti Girik C.1906 Persil 36 S.II seluas 2.231 M² dari ABDUL HAMID SUBRATA, dan tanah dengan Girik Girik C.5047 Persil 30 S.II. seluas 548 M² dari EDY SUWITO serta tanah Girik C 391 luas 1.480 m² dan 6.000 m² dari RAIS. (Total 1 Ha).

Komentar