Oleh: Fakhruddin Halim, Sekretaris PWI Babel
Di Istana Negara, saya duduk di deretan ketiga. Duduk persis di samping saya, Prof. Dr. Rajab Ritonga, wartawan senior dan ketika masih di LKBN Antara sering melakukan peliputan di Istana.
Prof Rajab, begitu kami biasa menyapa, sebelum acara dimulai bercerita setengah berbisik, kalau dia tadi nyaris saja tidak bisa masuk ke tempat acara. Hal ini lantaran nyaris tidak lulus “sensor” karena celana hitam yang dia pakai dikira salah seorang anggota Paspampres yang menjaga pintu periksaan adalah jenis celana jeans.
“Saya disuruh ke pinggir, lalu Paspampres itu memegang celana saya seperti ini,” tutur Prof Rajab sembari memegang bagian celananya dan menarik-nariknya meniru gerakan yang dilakukan petugas tadi.
Kontan saja, Prof Rajab mengira bakal tidak bisa masuk ke salah satu aula di Istana Negara, tempat pembukaan secara resmi Kongres PWI XXV oleh Presiden Joko Widodo, Senin siang, 25 September 2023.
Namun, Prof Rajab segera saja menyampaikan ke petugas tadi bahwa celana yang dia pakai bukan jenis celana jeans, tapi bahannya agak tebal dan sekilas memang mirip.
“Ini bukan celana jeans, ini (celana) memang bahannya begini, jenis terbaru,” kata Rajab, berkilah.
Petugas itu pun akhirnya mempersilakan Prof Rajab berlalu menuju lokasi acara.
Saya pun lantas menceritakan pengalaman ketika tadi diperiksa oleh seorang anggota Paspampres di pintu pemeriksaan. Yang pertama saya lolos. Tapi di pintu pemeriksaan kedua metal detector ditempelkan ke sekujur badan depan belakang hingga kedua kaki. Namun begitu sampai ke saku celana bagian belakang, alat itu menyala dan berbunyi.
“Minggir dulu,” kata petugas sembari memberi isyarat menggunakan tangan.
“Apa itu? keluarkan,” sambung dia dengan nada tegas dan mimik wajah serius.
Tanpa menunggu lama, saya memasukkan tangan ke saku celana belakang, lalu mengeluarkan isinya.
“Uang logam pak,” kata saya pendek.
Petugas itu pun tersenyum dan memberi isyarat agar saya berlalu. Uang logam itu pun saya masukkan lagi ke saku.
Memang, sebelumnya panitia sudah mengumumkan agar peserta yang datang ke Istana Negara diwajibkan mengenakan baju batik, sepatu dan celana berbahan kain, tidak boleh mengenakan celana jeans dan sandal.
Di pintuk pertama, sejumlah peserta diminta tidak membawa tas, dompet, cgarger dan handphone. Jadi yang sudah terlanjur sampai pintu pemeriksaan pertama harus kembali ke bis masing-masing guna menitipkan tas, dompet, handphone dan charger. Saya termasuk yang kembali ke bis karena membawa dompet dan hanphone.
Tadinya saya berfikir handphone bisa digunakan untuk berswafoto. Ternyata tidak boleh dibawa, apa boleh buat. Namun ternyata sekeping uang logam terlewatkan.
“Lain presiden, lain pula kebijakannya,” ujar Prof Rajab.
Menurut Prof Rajab, sewaktu masih sering meliput di Istana, era Presiden Suharto, beda dengan era Megawati, begitu pula era SBY.
“Waktu zaman Presiden SBY, harus pakai sepatu berbahan kulit, seperti pantofel, saya pakai celana jeans. Tapi sekarang gak boleh pakai celana jenas, tapi boleh pakai sepatu kain atau sejenisnya,” tutur Rajab.
“Kalau zaman Gus Dur lain lagi, malah boleh pakai sarung dan pakai sandal,” timpal saya, kami tertawa kecil.
Komentar