Penulis: Andre Vincent Wenas
JurnalPatroliNews – Jakarta – Skandal besar kembali mengguncang dunia keuangan Indonesia. Kali ini, pusat sorotan mengarah ke Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), alias Indonesia Eximbank, yang terjerat kasus korupsi berjamaah dengan dalih yang begitu absurd: “zakat” untuk direksi.
Praktik menyimpang itu bukan sekadar penyelewengan dana, tapi juga pelecehan terhadap nilai-nilai religius. Di dalam sistem yang seharusnya profesional, istilah zakat justru digunakan sebagai kedok untuk memuluskan permintaan gratifikasi kepada debitur. Zakat yang sejatinya bersifat sukarela justru diubah menjadi semacam upeti wajib. Kalau tak memberi, risiko kredit ditinjau ulang—ancaman halus yang membuat banyak pihak merasa terpaksa.
Model semacam ini bukan barang baru. Di era lain dan di institusi berbeda, pernah muncul istilah “Apel Malang” dan “Apel Washington” sebagai simbol gratifikasi dalam mata uang rupiah maupun dolar. Tapi di LPEI, topengnya jauh lebih religius: seolah-olah pungli itu bagian dari amal ibadah.
LPEI, yang berdiri sejak 2009, sejatinya dibentuk untuk memperkuat daya saing ekspor nasional dan mendukung pelaku usaha dalam menembus pasar global. Sebuah lembaga negara yang modal awalnya bersumber dari APBN sebesar Rp4 triliun. Setiap kekurangan modal akan ditutupi lagi oleh pemerintah, yang artinya dari kantong rakyat.
Misi LPEI sangat strategis dalam formula PDB nasional—terutama dalam meningkatkan komponen ekspor (X) agar Indonesia meraih surplus perdagangan. Tapi sayangnya, misi luhur itu ternoda. Direksi LPEI justru menyelewengkan amanah, memanfaatkan jabatan demi kepentingan pribadi dan kelompok.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun bertindak. Awal 2025, lembaga antirasuah ini mengungkap praktik kotor di balik pemberian kredit pada debitur kelas kakap. Kasus ini mencuat ke publik dengan potensi kerugian negara yang luar biasa: Rp11,7 triliun. Salah satu yang terseret adalah pengusaha besar Jimmy Masrin, pemilik grup Lautan Luas, terkait pembiayaan ke PT Petro Energy.
Masalahnya klasik: dana pinjaman disalahgunakan (side-streaming), laporan keuangan dipoles agar tampak sehat (window-dressing), jaminan dipalsukan, hingga pemberian “zakat” ke manajemen LPEI. Jimmy yang juga menjabat di beberapa perusahaan lain, bukan satu-satunya debitur yang bermasalah. KPK kini juga menyelidiki sepuluh debitur lain dengan pola dugaan pelanggaran serupa.
Para pejabat LPEI yang ditangkap meliputi Dwi Wahyudi, Arif Setiawan, Newin Nugroho, dan Susy Mira Dewi. KPK juga mengungkap komunikasi internal mereka yang menggunakan kode “zakat” untuk menutupi praktik suap. Sebuah sandi memalukan yang menggambarkan betapa jauh mereka telah melenceng dari etika, logika, dan hukum.
Komentar