Terbongkarnya Skandal Bensin Oplosan Pertamina, Pintu Masuk untuk Menguak Konspirasi Mafia Migas?

Oleh: Andre Vincent Wenas

Digitalisasi. Sama seperti cara Jokowi mencegah praktek korupsi dalam pengadaan barang di Kementerian atau Lembaga pemerintahan, Ahok sewaktu jadi Komisaris Utama Pertamina juga mau menerapkan digitalisasi. Begitu pengakuannya.

Tapi mengapa tidak terjadi di Pertamina? Apa penyebabnya? Kita tahu “berkat” terbongkarnya kasus di Pertamina Patra Niaga dengan tertangkapnya 7 oknum yang kemudian jadi 9 oknum, terenduslah penyebabnya. Justru direksinyalah yang menghambat.

Dan berkat pengakuan Ahok, ternyata bukan di Pertamina Patra Niaga saja, tapi secara umum terjadi juga di Pertamina Group. Seluruh unit usaha Pertamina. Masyaallah.

Direksi yang menghambat? Ya inilah yang disebut dengan “strategi korupsi” dengan “buying time” (beli waktu). Pemanfaatan buying time ini adalah dengan teknik “aji-mumpung”. Mumpung belum diganti ya keruklah duit sebanyak-banyaknya.

Mumpung proyek strategis yang namanya digitalisasi belum diterapkan, keruklah duit sebanyak-banyaknya. Karena dengan digitalisasi ini bakal menghapus banyak peluang interaksi yang berpotensi kolutif. Persekongkolan jahat.

Karena komputer tidak bisa diajak konspirasi, lantaran lomputer tidak menerima komisi atau aliran dana. Komputer hanya menerima aliran data, dan didukung aliran listrik.

Supaya proyek “pengerukan duit sebanyak-banyaknya” itu bisa lancar, maka dirancanglah suatu konspirasi (korupsi berjamaah). Siapa saja yang dilibatkan?

Ini yang seru. Selain direksi yang terlibat, mereka mesti mengamankan operasi “aliran duit haram” ini dengan pihak pemeriksa laporan keuangan. BPK memang sudah disebut-sebut dalam pemberitaan.

Apakah DPR perlu “diamankan”? Kita sudah tahu sama tahulah. Kabarnya anggota parlemen itu paling suka melakukan kunjungan kerja ke Pertamina.

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Pertamina selama ini, kenapa tidak pernah kritis dengan membandingkan kinerja Pertamina dengan perusahaan global yang jauh lebih efisien dan efektif manajemennya.

Tapi berurusan dengan DPR berarti juga berurusan dengan Partai Politik yang anggotanya ada di lembaga legislatif. Dan tentunya dengan parpol yang ada di pemerintahan (kekuasaan) itu. Urusannya bisa jadi bergesar ke tuduhan politisasi-lah, sampai nanti ke soal kriminalisasi hukum dan tetek-bengek lainnya.

Lalu untuk melakukan apa yang disebut dengan “peng-kondisi-an” ke publik bahwa stok bensin kosong dan produksi dalam negeri kurang sehingga harus impor, maka perlu melibatkan oknum-oknum di otoritas. Supaya kelihatannya legitimate.

Jadi ringkasnya, ini praktek korupsi yang sudah kronis. Kronis artinya sudah turun temurun dalam jangka yang sangat panjang. Dan akut, artinya semakin parah. Sekarang, dengan sekali kipas sudah berada dalam spektrum ratusan triliunan, bahkan quadriliun rupiah. Korupsi di tubuh Pertamina memang sudah kronis dan akut.

Kita seperti lumpuh dalam menghadapi konspirasi jahat para oknum mafia migas selama ini. Semua yang terlibat dilumpuhkan dengan senjata pamungkas yang benama dollar dan rupiah.

Tapi peristiwa terbongkarnya (atau dibongkarnya) kasus di Pertamina Patra Niaga bisa menjadi pintu masuk Aparat Penegak Hukum (APH) untuk memberantas korupsi di Pertamina sampai ke akar-akarnya. Kalau saja APH cukup punya konsistensi dan persistensi.

Petral (Pertamina Energy Trading Limited) adalah subsidiary (anak Perusahaan Pertamina) yang berdomisili di Singapura (sejak tahun 1992). Perusahaan ini yang dulu kerap berkongkalikong dengan Global Energy Resources (milik Riza Chalid) untuk “mengatur” importasi minyak.

Lalu tahun 2015 Petral dibubarkan Jokowi. Sempat bikin panik sebentar. Tapi gurita mafia migas tetap bisa beroperasi, tentakelnya kuat dan masih merambah ke segala arah kekuasaan. Orang-orang eks-Petral yang katanya diorkestrasi Riza Chalid telah menyusup ke dalam Pertamina, secara spesifik di Pertamina Patra Niaga.

Riza Chalid yang dulu sempat dipanggil Kejaksaan namun selalu mangkir itu pun masih bisa berkeliaran kesana-kemari. Bahkan sempat ditenteng Surya Paloh dalam acara Akademi Bela Negara Partai Nasdem yang menghadirkan Presiden Jokowi untuk memberi sambutan. Itu peristiwa di tahun 2018 lalu.

Posisi Pertamina Patra Niaga ini sangatlah strategis dalam rantai pasok (supply-chain) bisnis minyak. Sebagai sub-holding yang menjalankan rantai kegiatan bisnis hilir Pertamina, kegiatannya mulai dari penerimaan, penimbunan dan penyaluran produk BBM, LPG, pelumas dan petrokimia untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun di luar negeri. Konsumennya ritel dan industri, termasuk untuk aviasi dan maritim.

Korupsi di Pertamina ini adalah permainan lama dimana masing-masing pihak yang berkuasa disitu enggan untuk menghentikannya. Kalau pun ada, tak lama kemudian pejabat itu pun lengser (atau dilengserkan).

Tapi janganlah kita berkecil hati dan putus harapan. Harapan itu mulai bersemi kembali ketika kasus oplosan ini terbongkar, menyeret orang-orang besar di Pertamina Patra Niaga. Bahkan anak kandung dari gembong mafia migaspun terciduk.

Ini pintu masuk ke jaringan mafia migas lainnya. Ingat tentakel mereka merambah kemana-mana. Bahkan politisi di parlemen (DPR) yang katanya berperan jadi sumber dana parpol, pejabat-pejabat di Kementerian dan Lembaga seperti BPK, sampai oknum-oknum penegak hukum.

Trisula penegak hukum untuk memberantas korupsi, yaitu Kejaksaan, KPK dan Kepolisian mesti kompak dan konsisten dengan sumpah jabatannya. Seperti kritik yang pernah disampaikan para kritikus, ketiga Lembaga ini mesti “mandi junub” agar bersih dulu sebelum bisa membersihkan institusi lainnya.

Jakarta, Minggu 2 Maret 2025
Andre Vincent Wenas,MM,MBA., Pemerhati Ekonomi dan Politik, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.

Komentar