Pertemuan Diam-diam Mega-Prabowo dan Politik Rasa Malu Serta Tahu Diri ala Surya Paloh

Makanya, menurut Surya Paloh, tidak etis jika partainya kini mengambil posisi dalam kabinet pemerintahan. Dia bilang, “Saat ini NasDem tahu diri, memahami sepenuhnya NasDem memang tidak pantas untuk berada di dalam lapisan mengisi anggota kabinet karena memang kami tidak berjuang banyak.”

Sikap ini menurutnya adalah bentuk konsistensi sikap dan nilai yang selama ini dijunjung Partai NasDem. Konsekuensi politik ini harus dijalani dengan kesadaran penuh. Kata-kata Surya Paloh, “Dalam Pemilu 2024, kami tidak mencalonkan Prabowo sebagai presiden. Maka, inilah konsekuensi politik yang harus kami buktikan, NasDem tahu diri, ada budaya malu.”

Surya Paloh mengaku sebenarnya partainya sempat ditawari posisi dalam pemerintahan Prabowo-Gibran. Namun, tawaran tersebut ia tolak, lantaran ia ingin menunjukkan bahwa tidak semua partai politik haus kekuasaan. “Kami ingin membuktikan bahwa tidak semua partai di negeri ini mabuk kekuasaan,” tegas politisi asal Banda Aceh itu.

Ia menganalogikan, “Posisi Partai NasDem saat ini seperti dua sisi pada mata uang. Dalam konteks ekonomi, misalnya, NasDem akan mendukung pemerintah ketika stabilitas ekonomi terjaga. Namun, ketika terjadi gangguan terhadap stabilitas tersebut, partai juga tidak bisa tinggal diam.”

Tak memilih jalan oposisi meskipun partainya tidak masuk dalam pemerintahan. Surya Paloh menolak anggapan bahwa NasDem akan menjadi oposisi, pihaknya menegaskan pihaknya tetap akan memberikan dukungan kepada pemerintah.

Katanya, “Kami tidak anti, kami tidak tidak suka, melainkan ini adalah bentuk komitmen terhadap nilai-nilai moralitas. Esensi perubahan yang kami perjuangkan, perilaku dan sikap kami buktikan. Saya ingin pikiran-pikiran ini terus berlanjut, NasDem tetap bisa menjadi mitra kritis pemerintah”.

Jadi kedua parpol parlemen ini, PDIP dan NasDem, sudah menyatakan diri tidak barada dalam rezim pemerintahan Prabowo-Gibran, namun bukan sebagai oposisi melainkan mitra-strategis yang kritis.

Maka peta kekuatan politik bis akita gambarkan begini, di sisi eksekutif tidak ada “perwakilan” mereka di kabinet, tapi bagaimana di legislatif atau parlemen (DPR RI)?

Total ada 580 kursi parlemen, yang dikuasai oleh PDIP dengan 110 kursi, Golkar 102 kursi, Gerindra 86 kursi, NasDem 69 kursi, PKB 68 kursi, PKS 53 kursi, PAN 48 kursi, Demokrat 44 kursi.

Apakah faksi “Mitra Strategis yang Kritis” (PDIP 110 kursi dan NasDem 69 kursi, total 179 kursi atau 30 persen) akan kerap berhadapan dengan Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM Plus) yang punya 401 kursi atau 70 persen kekuatan parlemen (Golkar 102 kursi, Gerindra 86 kursi, PKB 68 kursi, PKS 53 kursi, PAN 48 kursi dan Demokrat 44 kursi)?

Ini perlu kita pantau terus, karena dinamika di parlemen mesti dilihat atau dipantau dari hari lepas hari, dari minggu ke minggu, dan dari bulan ke bulan. Tergantung isu atau RUU yang sednag dibahas. Kita lihat saja kenyataannya nanti.

Komentar