Tapi yang jelas kedua “mitra strategis yang kritis” (PDIP dan NasDem) sudah menyatakan bahwa mereka berdua bukan oposisi, bukan lawan dari pemerintah.
Kalau pakai istilah dari Surya Paloh, mitra yang punya rasa malu dan tahu diri. Istilah yang pas untuk di kemukakan sebagai wacana publik akhir-akhir ini. Karena kedua hal ini kerap dalam dunia politik praktis sudah tidak dikenal lagi. Ya, rasa malu dan tahu diri. Keduanya sudah jadi barang langka dan mahal harganya.
Pejabat tinggi bahkan konglomerat pun tidak mampu (atau enggan) membelinya (atau membayarnya), itu kiasannya. Arti harafiahnya, sudah banyak politisi (atau konglomerat hitam) yang tidak mau (atau tidak mampu) melakukannya. Tidak tahu malu.
Sebagai “mitra strategis yang kritis” tentunya kita berharap mereka bisa memberikan pandangan yang kritis, bukan nyinyir, apalagi menyeponsori sikap-sikap yang kita kenal sebagai DFK (Disinformasi/penyesatan, Fitnah dan Kebencian).
Kritis, secara etimologis berasal dari kata Yunani kritikos, yang bermakna “dapat didiskusikan”. Diambil dari kata krenein, yang artinya memisahkan, mengamati, menimbang dan membandingkan. Dalam unsur-unsur ini jelas tidak ada maksud untuk menyesatkan, memfitnah dan menyebar kebencian.
Persatuan atau kekompakan diantara para elit politik ini sangat diperlukan sebagai kekuatan bangsa menjelang kenaikan kelas dari negara berpenghasilan menengah menuju negara maju.
Jakarta, Kamis 10 April 2025
Andre Vincent Wenas,MM,MBA., Pemerhati Ekonomi dan Politik, Direktur Ekskutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.
Komentar