Makna Strategis Geopolitik Tegal Rejo dalam Membentuk Karakter Pangeran Diponegoro

Apa yang bisa kita renungkan di hari baru dan lembaran baru tahun ini? Jalan takdir yang membentang dari sosok salah satu pejuang bangsa, Pangeran Diponegoro. Pangeran Ontonwiryo yang kelak memimpin Perang Jawa melawan Belanda (1825-1830), merupakan putra tunggal Sultan HB III dengan isteri selir/garwo ampeyan bernama Ratu Mangkorowati.

Dari jalur ibu, Pangeran Ontowiryo yang kelak kita kenal sebagai Pangeran Diponegoro, kakeknya dan garis atasnya merupakan garis keturunan para ulama dan santri. Dengan kata lain, terlepas dari status isteri selir/garwo ampeyan, Pangeran Diponegoro merupakan persenyawaan antara garis keturunan bangsawan kraton dan keluarga besar ulama/santri.

Sisi lain yang tak kalah menarik, begitu lahir, Pangeran Diponegoro diambil dan diasuh oleh nenek buyutnya, Ratu Ageng, isteri dari Pangeran Mangkubumi, Sultan HB I. Nah Ratu Ageng ini, yang begitu amat dihormati Diponegoro melalui autobiografinya, Babad Diponegoro, juga merupakan putra seorang ulama terkenal Madura kala itu.

Oleh karena garis keturunan ulama yang mengalir dalam darah Ratu Ageng, belakangan nenek  buyut Diponegoro ini konflik dengan lingkar dalam kraton, termasuk putranya sendiri, Sultan HB II yang beliau pandang sangat lemah dan zholim. Maka karena dorongan hati, Ratu Ageng memutuskan keluar dari kraton, dan hijrah ke sebelah selatan Yogyakarta, Tegal Rejo. Tegal Rejo artinya lahan makmur.

Di sinilah, Diponegoro dibesarkan dan dididik oleh nenek buyutnya yang dikelilingi oleh para ulama dan santri yang pada berdatangan dari berbagai pelosok. Dalam atmosfer yang dipengaruhi oleh ilmu dan ajaran para ulama inilah, kelak membentuk karakter Diponegoro yang secara kontras berbeda dengan para pangeran didikan di dalam kraton.

Selain itu pergaulan Diponegoro dengan jejaring para ulama dan santri, tidak hanya sebatas di kawasan Yogyakarta tapi meluas ke Bagelen, Surakarta, bahkan sampai ke Madiun, Jawa Timur, dan tentu saja Madura.

Apa yang jadi pertimbangan Ratu Ageng buat mengambil Diponegoro dari kedua orang tuanya, Sultan HB III dan Ratu Mangkorowati, memang tidak ada yang tahu pasti. Namun besar kemungkinan salah satu faktor adalah dengan melihat pengalaman pahit putranya sendiri, Sultan HB II, yang ternyata jadi Sultan dan pemimpin yang lemah, zholim dan hidup hura-hura tanpa tujuan. Pastinya Ratu Ageng berpandangan itu gegara pengaruh lingkungan dan gaya hidup kraton yang bikin tumpul daya rasa dan daya pikir.

Ternyata pertimbangan Ratu Ageng benar adanya. Di bawah pengaruh geokultural dan geospiritual Tegal Rejo, Diponegoro kelak punya suatu cara pandang baru yang tidak dimiliki para pangeran produk murni kraton. Rasa cinta Tanah Air. Dan kepekaannya yang begitu kuat pada pentingnya rasa keadilan. Keadilan politik, keadilan ekonomi, dan keadilan sosial budaya.

Maka ketika pada 1825-1830 Pangeran Diponegoro memutuskan melancarkan Perang Jawa terhadap pemerintah kolonial Belanda, bisa dipastikan hal itu berangkat dari cara pandang baru dan di luar pakem kraton tersebut.

Dalam geopolitik yang mana ilmu sosial, sejarah dan geografi dikaji dalam satu rangkaian yang terintegrasi, maka makna strategis Tegal Rejo saya kira amat mempengaruhi pembentukan karakter Diponegoro sebagai pemimpin. Bukan sebagai pemimpin negara di kraton, tapi pemimpin perjuangan rakyat Jawa melawan penjajah.

Relasi dan jejaring dari kalangan ulama dan santri yang terbentuk sejak masa kecil Diponegoro di Tegal Rejo, pada perkembangannya kelak merupakan sumberdaya manusia yang amat berharga sebagai basis pergerakan Diponegoro dalam melancarkan Perang Jawa. Sehingga Perang Jawa 1825-1830 bukan sekadar perang kraton melainkan perang rakyat semesta.

Maka tidak heran jika beberapa pakar sejarah, dan bahkan para pelaku sejarah yang berasal dari pihak Belanda, mengakui bahwa fenomena pergerakan Diponegoro yang berujung pada Perang Jawa, merupakan kaum proto nasionalis. Embrio kemunculan kalangan pergerakan nasional di kelak kemudian hari. Hingga Indonesia merdeka 17 Agustus 1945.

Hendrajit
(Pengkaji geopolitik dan wartawan senior)

Komentar