Selain itu, perkembangan teknologi digital turut menambah dimensi baru dalam masalah budaya hukum di Indonesia. Di era digital ini, kekuasaan tidak hanya memainkan kontrol melalui institusi formal, tetapi juga melalui manipulasi opini publik di media sosial dengan bantuan buzzer.
Popularitas pejabat dan kebijakan sering kali direkayasa melalui algoritma digital, bukan didasarkan pada prestasi nyata. Hal ini memperparah kondisi budaya hukum yang sudah rapuh, di mana kebijakan dan hukum dibentuk berdasarkan opini publik yang telah dimanipulasi.
Untuk menghadapi tantangan ini, diperlukan langkah konkret berupa positivisasi etika. Nilai-nilai etika tidak lagi bisa hanya menjadi norma sosial, tetapi harus diinstitusionalisasi melalui aturan tertulis yang jelas dan mengikat. Etika harus memiliki sanksi seperti halnya hukum, sehingga nilai-nilai Pancasila benar-benar dapat diterapkan dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam upaya mengembalikan budaya hukum yang berkeadilan, seluruh elemen masyarakat, dari pemimpin negara hingga rakyat biasa, harus bersatu. Supremasi etika harus dijadikan landasan utama dalam menjalankan hukum, agar hukum tidak lagi hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Reformasi politik dan hukum yang mendasar sangat diperlukan, termasuk memisahkan peradilan hukum dan peradilan etika serta mempositivisasi nilai-nilai etika agar menjadi bagian integral dari sistem hukum.
Indonesia tidak boleh jatuh dalam jebakan hukum yang melayani kepentingan modal dan kekuasaan. Saatnya bertindak untuk mengembalikan keadilan dan moralitas dalam setiap sendi kehidupan bernegara, demi mewujudkan cita-cita Pancasila.
Komentar