Pengelolan Sengketa 4 Pulau di Aceh     

Oleh: Riska Amelia

Sengketa wilayah administratif antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara kembali mencuat setelah munculnya polemik mengenai status empat pulau kecil di perairan Selat Malaka. Keempat pulau tersebut adalah Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang. Perselisihan ini bukanlah hal baru, tetapi kembali mendapat sorotan setelah adanya penetapan administratif dari pemerintah pusat.

Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia melalui Kepmendagri Nomor 050-145 Tahun 2022 menjadi pemicu utama polemik ini. Dalam keputusan tersebut, keempat pulau tersebut dimasukkan ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara. Hal ini kemudian mendapat reaksi keras dari pemerintah dan masyarakat Aceh yang mengklaim pulau-pulau itu sebagai bagian dari wilayah Kabupaten Aceh Singkil.

Secara geografis, keempat pulau ini memang berada di perbatasan wilayah laut antara Aceh dan Sumatera Utara. Namun dalam beberapa peta terdahulu, keempat pulau tersebut kerap muncul dalam wilayah Aceh, sehingga wajar jika masyarakat setempat menganggapnya sebagai milik mereka. Ketidaksesuaian antara data administratif dan fakta geografis inilah yang menambah kompleksitas sengketa ini.

Dari sisi historis, masyarakat Aceh menilai bahwa keempat pulau tersebut telah lama dihuni dan dikelola oleh warga Aceh. Aktivitas ekonomi seperti perikanan, pertanian skala kecil, dan bahkan pengelolaan sumber daya alam lainnya dilakukan oleh warga yang secara administratif terdaftar sebagai penduduk Aceh. Fakta ini digunakan sebagai argumen pendukung bahwa pulau-pulau tersebut masuk dalam wilayah mereka.

Sebaliknya, pemerintah Provinsi Sumatera Utara berpegang pada dokumen dan keputusan administratif resmi yang telah ditetapkan oleh pusat. Mereka menganggap bahwa keputusan Mendagri sah secara hukum dan wajib dipatuhi, terlepas dari sejarah penggunaan wilayah tersebut oleh masyarakat Aceh. Ini menimbulkan ketegangan antara pendekatan legal-formal dan pendekatan historis-kultural.

Isu ini juga menjadi perhatian banyak pihak karena menyangkut batas wilayah provinsi, yang implikasinya bisa sangat luas. Selain menyangkut kedaulatan daerah, ada juga kepentingan sumber daya alam, potensi wisata, dan akses strategis di perairan sekitar keempat pulau tersebut. Karena letaknya yang berada di jalur pelayaran, keberadaan pulau-pulau ini cukup penting dalam aspek ekonomi dan geopolitik.

Pemerintah Aceh sendiri telah mengajukan protes resmi kepada pemerintah pusat. Mereka meminta agar keputusan Mendagri ditinjau ulang dengan mempertimbangkan peta dasar wilayah, catatan sejarah, serta fakta-fakta sosial yang menunjukkan keterikatan antara masyarakat Aceh dengan pulau-pulau tersebut. Beberapa LSM juga turut mendesak penyelesaian adil dan transparan.

Sementara itu, masyarakat di wilayah perbatasan menjadi pihak yang paling terdampak. Ketidakjelasan status wilayah membuat pelayanan publik menjadi tidak maksimal. Banyak warga yang bingung dalam urusan administrasi, mulai dari pencatatan kependudukan hingga akses layanan kesehatan dan pendidikan. Keadaan ini menimbulkan keresahan dan rasa ketidakpastian.

Para akademisi dan pakar hukum tata negara menyarankan agar penyelesaian sengketa ini dilakukan melalui pendekatan yang menyeluruh. Tidak hanya mengandalkan keputusan administratif, tetapi juga perlu dilakukan pemetaan ulang yang melibatkan lembaga pemetaan nasional, tokoh masyarakat, serta para ahli sejarah wilayah.

Jika sengketa ini terus berlarut-larut, dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik horizontal antara masyarakat kedua provinsi. Persoalan batas wilayah bukan sekadar soal peta, tetapi menyangkut identitas dan kebanggaan daerah. Oleh karena itu, pendekatan dialog dan mediasi menjadi penting agar tidak memicu perpecahan sosial.

Dalam beberapa kesempatan, DPR Aceh dan DPRD Sumatera Utara juga sempat bersuara. Masing-masing mengklaim telah memiliki bukti kuat yang mendukung posisi daerahnya. Bahkan sempat muncul wacana untuk membawa persoalan ini ke Mahkamah Konstitusi atau lembaga hukum lain untuk mendapat kejelasan hukum yang bersifat final dan mengikat.

Permasalahan ini juga mencerminkan pentingnya peran pemerintah pusat dalam menjaga keutuhan wilayah NKRI secara adil dan proporsional. Pemerintah tidak bisa hanya berfokus pada dokumen administratif, tetapi juga harus mendengar aspirasi daerah yang merasa dirugikan. Bila tidak ditangani dengan hati-hati, persoalan serupa bisa muncul di wilayah lain.

Selain aspek legal dan historis, pemanfaatan teknologi seperti citra satelit dan sistem informasi geografis (GIS) dapat menjadi alat bantu yang objektif. Melalui teknologi ini, dapat dilihat bagaimana pola penggunaan lahan, aktivitas masyarakat, dan batas alami yang mungkin selama ini tidak diperhitungkan dalam penentuan batas administratif.

Proses klarifikasi batas wilayah memang membutuhkan waktu, tetapi kejelasan akhir sangat penting untuk memberikan kepastian hukum. Pemerintah daerah, baik Aceh maupun Sumatera Utara, harus menahan diri dan tidak menggunakan isu ini sebagai alat politik yang memecah belah masyarakat. Solusi damai dan adil tetap menjadi jalan terbaik.

Ke depan, perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap sistem penetapan batas wilayah antarprovinsi di Indonesia. Sengketa seperti ini bisa diminimalisasi jika ada koordinasi yang lebih baik antara pemerintah pusat dan daerah, serta melibatkan partisipasi publik dalam proses penetapannya. Pulau-pulau kecil seperti Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang harus menjadi simbol persatuan, bukan sumber perpecahan.

Komentar