Tentu Hasto dengan lantang menyerukan Satyameva Jayate versinya sendiri untuk membenarkan posisi hukumnya. Demikian pula publik pada umumnya menginginkan kebenaran yang sejati yang muncul, bukan yang difabrikasi sedemikian rupa untuk sekedar membenarkan pihak tertentu.
Menyimak sidang pertama yang beragenda pembacaan dakwaan kita sekarang mengerti apa sih yang dituduhkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada Hasto dalam sidang Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) kemarin itu.
Kita tidak perlu terkecoh dengan upaya-upaya “pengalihan isu” yang ingin memosisikan Hasto sebagai seorang tahanan politik (tapol), padahal sesungguhnya ia hanya seorang terdakwa kasus korupsi. Upaya politisisasi kasus hukum ini sangatlah menghina kecerdasan publik.
Dakwaan yang diajukan JPU di sidang Tipikor ini pun jelas, soal suap menyuap dan soal menghalangi penyidikan. Jelasnya Hasto didakwa memberikan suap sebesar 57.350 dolar Singapura (sekitar 600 juta rupiah) kepada anggota KPU Wahyu Setiawan pada rentang tahun 2017 sampai 2022. Awalnya Wahyu Setiawan minta 1 miliar rupiah.
Suap ini dengan maksud supaya Wahyu mengupayakan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR Dapil Sumsel 1 dari Riezky Aprilia ke Harun Masiku. Dalam melaksanakan upaya suap menyuap ini dalam dakwaan Jaksa KPK mengungkapkan Hasto bekerja sama dengan Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri, dan Harun Masiku.
Soal menghalangi penyidikan, dikatakan bahwa Hasto didakwa telah memerintahkan perusakan barang bukti, termasuk merendam ponsel milik Harun Masiku. Ada insiden di PTIK yang dramatis itu. Pokoknya seru dan menegangkan.
Kasus ini bermula dari wafatnya Nazarudin Kiemas sebelum Pemilu 2019. KPU lalu menetapkan Riezky Aprilia sebagai pengganti karena meraih suara terbanyak setelah Nazaruddin Kiemas. Namun, Hasto meminta agar suara Nazarudin dialihkan ke Harun Masiku, namun KPU menolak karena bertentangan dengan ketentuan.
Harun akhirnya kabur, dan masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) dari KPK sejak 17 Januari 2020 dan belum tertangkap sampai sekarang. Berbagai peristiwa melanda KPK, gonjang-ganjing terus, Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), kepemimpinan Firli Bahuri yang memihak kepentingan PDIP untuk mengubur kasus ini.
Sampai ke pelemahan KPK setelah inisiatif perubahan Undang-Undang dari DPR yang oleh Hasto malah dituduhkah ke Presiden Jokowi sebagai biang kerok. Upaya pebohongan publik yang sangat bodoh dari seorang sekjen parpol.
Komentar