Oleh: Andre Vincent Wenas
Terngiang terus pesan dari salah seorang pendiri GMIM di Sulawesi Utara, Ds. Albertus Zacharias Roentoerambi Wenas. Pesan ini akhirnya malah jadi motto gereja di Minahasa:
“Tanah dan Bangsa Minahasa adalah ciptaan dan anugerah Tuhan. Agama/Gereja di Minahasa harus menjalankan misinya lepas dari pengaruh negara, sambil melaksanakan kesaksian kenabiannya melalui perbuatan yang nyata dengan mencerdaskan manusia, menolong orang yang sakit dan mengangkat derajat kesejahteraan Bangsa Minahasa.“
Dugaan kuat, bercampurnya urusan politik praktis dengan urusan pelayanan gereja membawa mudarat bagi GMIM dan pejabat Pemprov Sulut periode lalu. Semua tahu, pada periode lalu (rezim Olly Dondokambey dan Steven Kandou) adalah stelsel yang dikendalikan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Kronologi kasus dana hibah GMIM mulai pada tahun 2020, waktu itu Pemprov Sulut memberi dana hibah pada Sinode GMIM (Gereja Masehi Injili di Minahasa), totalnya sebesar 20 miliar lebih. Oleh Pemprov Sulut artinya dibawah kepemimpinan Gubernur Sulut kala itu, Olly Dondokambey dan wakilnya Steven Kandouw. Dan dari pihak penerima dana hibah, Sinode GMIM yang diketuai oleh Pendeta Hein Arina, ThD.
Sekarang di tahun 2025 ternyata terbongkar oleh Polda Sulut, ada praktek penyimpangan dana negara, alias tindak pidana korupsi. Bagaimana ini?
Alasan hibah itu di permukaan tentu terlihat mulia. Alasannya untuk keperluan pelayanan atau diakonia GMIM (pembangunan rumah ibadah, pendidikan, rumah sakit atau kesehatan dan lain-lain). Tapi ternyata ada dugaan kuat terjadi praktek penyimpangan, Polda Sulut sedang menginvestigasi.
Penyimpangannya seperti apa? kita tunggu hasil investigasi. Tapi yang jelas sementara ini sudah ditetapkan sebagai tersangka 5 orang yang dianggap paling bertanggungjawab. Empat orang dari unsur Pemprov Sulut dan satu orang dari Sinode GMIM. Seperti diberitakan Kompas TV Manado (7 April 2025) kelima orang tersebut ditetapkan sebagai tersangka setelah memeriksa 84 orang saksi pada tahap penyelidikan hingga penyidikan.
Polda Sulut merincinya begini: 8 orang saksi dari Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daeah (BPKAD) Sulut, 7 saksi dari Biro Kesra, 11 saksi dari Tim Anggaran Pemprov, 6 saksi Inspektorat, 10 orang dari Sinode GMIM, 11 saksi dari UKIT dan 31 orang saksi dari kelompok masyarakat dan pelapor.
Berdasarkan keterangan para saksi dan bukti permulaan yang cukup akhirnya ditetapkan 5 tersangka: JRK (Jeffry R. Korengkeng), AGK (Asiano Gammi Kawatu), FK (Fereydi Kaligis), SK (Steve Kepel), HA (Hein Arina). Dari kelima orang itu, barusan dua orang JRK dan SK sudah dipakaikan rompi oranye Polda Sulut, alias ditahan.
Menurut Polda Sulut, pemberian dana hibah ini dilakukan dengan cara melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang. Akibatnya terjadi kerugian negara hampir 9 miliar rupiah, persisnya menurut perhitungan BPKP jumlah kerugian negaranya berjumlah Rp 8.967.684.405,- Kelakuan ini oleh Polda Sulut dikategorikan sebagai tindakan korupsi.
Walau Kapolda Sulut Irjen (Pol) Roycke Harry Langie menegaskan bahwa Polda Sulut mengusut kasus ini semata-mata demi penegakan hukum (murni kasus hukum). Tapi oleh sementara kalangan diduga kuat ada motif politik di balik pemberian dana hibah oleh Pemprov Sulut kala itu. Apa dugaan motif politiknya?
Dugaan sementara kalangan tentang latar belakang politik yang menjadi motif bagi penyelewengan dana negara itu adalah demi pendulangan suara pada pemilu 2024 yang lalu. Pemprov Sulut yang “dikendalikan” oleh stelsel PDIP di Sulut melakukan “pendekatan” ke Sinode GMIM sebagai institusi gereja yang memiliki jemaat terbanyak di Sulut.
Dengan jumlah jemaat yang tercatat sekitar 800 ribu lebih, GMIM jadi gereja mayoritas di Sulut. Dan ini tentu dari sisi elektoral sangat menarik untuk dikooptasi, dan itulah yang diduga jadi motif Olly Dondokambey dan Steven Kandouw (keduanya kader PDIP yang jadi Gubernur dan Wakil Gubernur) untuk menghibahkan dana sekitar 20 miliar itu. Akibat penyelewengan itu, sementara kerugian negara yang diakibatkannya terbilang sekitar 8,9 miliar rupiah.
Komentar