Sketsa Serba-Serbi Sholat Subuh, “Haji”

Sebaliknya dari aspek sosiologis, dari sudut pandang kebudayaan, penyebutan “Haji,” sudah berjalan lama. Penyebutan gelar “Haji” yang sempat merujuk kepada kaum nasionalisme radikal, telah berubah menjadi sebuah penghargaaan. Sebutan atau panggilan “Haji “ merupakan suatu kehormatan.

Secara sosial dahulu begitu sulitnya menunaikan ibadah haji. Penuh perjuangan dan bahaya serta memerlukan ketabahan luar biasa. Pada saat ini pun naik haji bagi sebagia rakyat sahaya atau para kawula tetap bukan perkara mudah. Selain membutuhkan biaya yang tak sedikit dalam ukuran masyarakat kebanyakan Indoensia, juga masih harus antri panjang bertahun-tahun. Berdasarkan hal itu, penghargaan terhadap orang yang akhirnya berhasil naik haji, sangat beralasan. Meletakan orang yang telah menunaikan ibadah haji dalam tempat terhormat, sama sekali tidak salah.

Dengan demikian, dari sudut ini, panggilan atau penyebutan “Haji” atau “Pak Haji” (untuk perempuan menjadi “hajjah”) memiliki dasar sejarah dan alas pembenar yang kuat. Ini penghormatan terhadap perjuangan terhadap seorang umat islam yang telah berhasil menunaikan rukun islam kelima dengan selamat. Lantas apa salahnya jika kepada mereka diberikan panggilan atau sebutan kehormatan “Haji” atau “Hajjah?” Tak ada yang salah. Dalam konteks penyebutan dan panggilan “Haji” makna kata “Haji” secara sosiologis sudah mengalami penambahan atau pergeseran dalam kebudayaan Indonesia. Kata “haji” tak lagi semata-mata bermakna hariah, melainkan juga sudah menjelma menjadi bagian dari penghormatan masyarakat kepada orang yang berhasil menunaikan rukun islam kelima.

Kalau begitu mana yang benar dong? Hamba berpendapat, dua-duanya benar. Dari tinjauan perpektif agama memang tak ada dasar penyebutan dan panggilan “haji,” meskipun tak ada pula larangan penyebutan dan panggilan “Haji.” Dari tinjauan sosiologis dan kebudayaan, sebutan atau panggilan penghormatan “Haji” merupakan hal yang wajar. Dan yang terpenting penghormatan panggilan dan penyebutan itu tidak bertentangan dengan aqidah agama islam. Dia tidak mesekutukan Allah, bahkan menghormati Allah melalui penghormatan terhadap sesama hamba Allah yang sudah berhasil menunaikan ajaran Allah, rukun Islam kelima. Islam agama sangat demokratis. Para pihak yang pro kontra terkait soal ini, silakan menjalankan pendpatnya masing-masing. Bagi yang tidak setuju dan keberatan terhadap sebutan dan panggilan “Haji” di masyarakat, tentu boleh menyatakan menolak terhadap sebutan dan pengilan itu. Sebaliknya bagi mereka yang masih merasa perlu dengan simbol-simbol penyebutan dan pangilan kehormatan “Haji” dalam kehidupan dan penghidupan keseharian, juga dipersilakan melanjutkan.

Adapun yang tidak boleh adalah, saling menghujat. Saling menghina. Merasa paling benar sendiri. Merasa pemegang otoritas tunggal dalam menafsirkan agama di masyarakat, sedangkan yang lain tidak berhak, salah dan haram hukumnya.

T a b i k.*

Bersambung…..

WINA ARMADA SUKARDI, wartawan dan advokat senior dan Dewan Pakar Pengurus Pusat Muhammadiyah. Tulisan ini merupakan repotase/opini pribadi.

Komentar