Tangkap Aspirasinya, Bukan Tangkap Orangnya: Kasus Infrastruktur “Dajjal” di Lampung

Oleh: Andre Vincent Wenas

Kita setuju dengan anggota parlemen yang bilang tangkap aspirasinya, bukan tangkap orangnya.

Di era keterbukaan sekarang ini, berkat teknologi, semua orang bisa jadi jurnalis. Citizen-journalism istilahnya. Apa saja bisa dilaporkan dan “diberitakan” via media sosialnya masing-masing. Dan itu potensial jadi berita nasional, manakala viral.

Seperti yang baru saja dilakukan Bima Yudho Saputro, seorang mahasiswa Indonesia asal Lampung yang sedang studi di Australia.

Dia bikin semacam reportase-opini tentang rusak parahnya infrastruktur (jalan) di Lampung. Sekilometer ada aspalnya, sekilometer lagi cuma tanah, parah memang.

Juga ia mengritik soal pembangunan pusat pemerintahan Provinsi Lampung di Kota Baru yang mangkrak. Sudah bertahun-tahun, bahkan sejak ia masih SD katanya. “Contohnya Kota Baru dari jaman gue SD sampai sekarang, tidak pernah ada dengar kabar lagi,” kata Bima.

Soal lain adalah kritiknya terkait tata kelola pemerintahan yang lemah, korupsi yang ada dimana-mana, birokrasi yang tidak efisien, hukum yang tidak ditegakkan, dan masih adanya budaya suap.

Diunggah di akun media sosial tiktoknya, dan sudah ditonton lebih dari 3 juta orang. Judul presentasinya “Kenapa Lampung Tidak Maju-maju”.

Di video presentasinya itu tentu dia memakai diksi yang akrab di kalangan anak muda jaman now.

Lalu ada seorang lawyer lokal yang menyimak video presentasi itu lalu mengadukan Bima ke polisi, pakai undang-undang ITE.

Alasannya, diksi yang digunakan, ada kata “dajjal” yang rupanya dianggap tidak pantas, kira-kira begitu. Berdasarkan laporan itu polisi bergerak.

Kasus ini jadi ramai dan viral. Diperbincangkan banyak kalangan.

Rupanya Bima berhasil menarik simpati publik secara luas. Mungkin lantaran “keluhan biasa” ala anak muda ini direspon secara berlebihan oleh lawyer lokal itu.

Apakah lawyer lokal itu bergerak atas inisiatifnya sendiri atau ada pesanan pihak tertentu, kita tidak tahu.

Yang jelas, untuk kasus ini, kita sepakat dengan anggota parlemen yang bilang, tangkap aspirasinya bukan tangkap orangnya.

Berkat teknologi komunikasi, aspirasi masyarakat bisa disuarakan secara langsung. Dengan diksi yang biasa di kalangan anak-anak muda. Untuk menangkap aspirasinya kita tidak boleh baperan, gampang tersinggung.

Akhirnya, untuk pemerintahan setempat lebih baik jawab saja, kapan infrastruktur jalan diperbaiki? Kapan pusat pemerintahan Kota Baru rampung? Kapan tata kelola pemerintahahan tidak lemah lagi? Kapan korupsi diberantas? Kapan birokrasinya efisien? Kapan hukumnya tegak? Dan, kapan tidak ada suap lagi di Lampung?

Pertanyaan yang sama berlaku juga untuk pemerintah daerah lainnya.

Komentar