Mahmud Marhaba, ahli pers dari Dewan Pers, menegaskan bahwa karya jurnalistik hanya bisa diakui jika memenuhi dua kriteria: ditulis berdasarkan kaidah jurnalistik dengan pendekatan 5W+1H secara berimbang, dan diterbitkan oleh perusahaan pers berbadan hukum. Jika tidak, maka tulisan tersebut masuk ranah hukum umum dan tidak bisa diproses melalui mekanisme Dewan Pers.
Disrupsi Teknologi dan Kegamangan Etika
Kehadiran teknologi kecerdasan buatan (AI) dalam dunia jurnalistik membawa transformasi besar-besaran. Dengan tools seperti ChatGPT, Midjourney, atau Bard, seorang jurnalis bisa menghemat waktu penulisan, membuat transkrip otomatis, hingga menganalisis data dalam skala besar untuk liputan investigatif.
Tapi, justru di sinilah letak ancaman barunya. AI membuka celah bagi terciptanya konten yang tampak sangat kredibel namun fiktif, seperti deepfake, manipulasi suara, hingga visualisasi naratif yang bisa merusak persepsi publik.
UNESCO dalam laporan tahun 2024 menyebut bahwa batas antara kenyataan dan rekayasa makin kabur. Generatif AI berpotensi dimanfaatkan oleh aktor jahat—baik negara, korporasi, maupun individu—untuk menyebarkan disinformasi berskala masif. Bahkan dalam lingkup media sendiri, tidak sedikit portal berita yang memanfaatkan AI secara sembarangan tanpa filter etis, hanya demi mengejar klik dan trafik.
Teknologi memang netral, tapi cara manusia menggunakannya yang menentukan apakah ia menjadi alat pembebasan atau penindasan. Dalam hal ini, tanggung jawab moral dan etika profesi jurnalis semakin penting, justru karena batas antara fakta dan opini, antara kenyataan dan narasi, menjadi kian tipis.
Kebebasan yang Disalahgunakan
Di tingkat nasional, problem pers bukan hanya terletak pada disrupsi digital, tapi pada pembiaran terhadap praktik-praktik jurnalisme yang menyimpang. Kebebasan pers sering kali dimaknai keliru sebagai “kebebasan absolut”, padahal kebebasan yang sehat selalu disertai etika dan legalitas.
Fenomena “media bodong” adalah salah satu bentuk distorsi paling nyata. Banyak orang dengan mudah mendirikan portal berita tanpa berbadan hukum, tanpa struktur redaksi, dan tanpa pemahaman atas kode etik jurnalistik. Mereka mengaku wartawan, mengenakan ID card buatan sendiri, lalu menulis berita tanpa konfirmasi, bahkan menggunakan “berita” sebagai alat pemerasan. Ini bukan sekadar pelanggaran etika, tapi kejahatan yang mencoreng martabat jurnalisme.
Komentar