UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers secara tegas menyebut bahwa perusahaan pers harus berbadan hukum Indonesia (Pasal 9 ayat 2). Jika tidak, maka ia tidak diakui sebagai entitas pers dan produk beritanya tidak tergolong karya jurnalistik. Ini bukan sekadar soal administratif, tapi soal prinsip: legalitas adalah fondasi dari kepercayaan publik.
Menurut Mahmud Marhaba dari Dewan Pers, karya jurnalistik hanya sah jika memenuhi dua syarat: pertama, ditulis dengan prinsip jurnalistik (5W+1H, cover both sides, verifikasi), dan kedua, diterbitkan oleh perusahaan pers yang sah. Tanpa itu, konten berita hanya menjadi tulisan pribadi yang bisa dituntut secara pidana maupun perdata.
Media Abal-abal dan Ancaman terhadap Demokrasi
Mengapa media bodong begitu berbahaya? Karena mereka menciptakan ilusi kebenaran yang mematikan. Dalam situasi politik seperti Pemilu atau Pilkada, media abal-abal sering digunakan sebagai alat kampanye hitam, menyebarkan hoaks, dan membentuk opini secara manipulatif. Mereka menjadi “alat tempur digital” yang tidak hanya merusak reputasi kandidat tertentu, tapi juga menyesatkan publik secara sistematis.
Bayangkan dalam Pilkada Pangkalpinang, misalnya, jika informasi yang beredar berasal dari media tidak resmi, tidak jelas redaksinya, tidak punya alamat kantor, tapi mengklaim memiliki “data akurat” dari narasumber anonim. Siapa yang bisa memastikan validitas informasi itu? Jika publik tidak memiliki literasi media yang cukup, maka mereka mudah terpengaruh dan terpecah. Demokrasi yang seharusnya rasional berubah menjadi ajang manipulasi emosi.
Disinformasi semacam ini bisa menimbulkan polarisasi, konflik horizontal, hingga delegitimasi hasil pemilu. Ini bukan sekadar soal etika jurnalistik, tapi menyangkut keamanan politik dan sosial. Maka, tidak berlebihan jika dikatakan: menyelamatkan jurnalisme adalah bagian dari menyelamatkan demokrasi itu sendiri.
Penegakan Hukum: Jangan Ragu Menindak
Sayangnya, penegakan hukum terhadap media ilegal masih sering tumpul. Banyak oknum yang mengatasnamakan wartawan dibiarkan berkeliaran, bahkan kadang dilindungi oleh aparat setempat karena dianggap “berguna” untuk kepentingan tertentu. Ini memperparah situasi dan membuat media profesional kehilangan daya saing moral di hadapan publik.
Komentar