JurnalPatroliNews – Jakarta – Keputusan kontroversial Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang melarang Harvard University menerima mahasiswa internasional, menimbulkan kegelisahan di kalangan ribuan pelajar asing yang sedang menempuh pendidikan di kampus bergengsi tersebut.
Langkah itu menimbulkan ancaman serius terhadap status visa, kelanjutan riset, hingga kemungkinan larangan kembali masuk ke AS bagi mahasiswa yang saat ini berada di luar negeri. Situasi ini menciptakan ketidakpastian besar menjelang musim perkuliahan musim gugur.
“Ribuan mahasiswa asing kini hidup dalam ketakutan dan ketidakjelasan hukum,” ujar Abdullah Shahid Sial, Wakil Presiden Badan Mahasiswa Harvard yang berasal dari Pakistan. Ia menggambarkan mahasiswa internasional sebagai anak muda yang harus menghadapi krisis identitas dan tekanan hukum di negeri asing tanpa dukungan yang memadai.
Dengan sekitar 6.793 mahasiswa asing—setara 27 persen dari total mahasiswa Harvard—kontribusi mereka terhadap dunia akademik AS tidak bisa dianggap remeh. Namun kini, para pelajar ini merasa diremehkan dan tidak dihargai.
“Amerika mendapatkan banyak manfaat dari kedatangan talenta global. Tapi sekarang, mereka diperlakukan seperti beban,” lanjut Abdullah.
Pihak universitas sendiri dikabarkan tengah menyiapkan bantuan keuangan dan berupaya memindahkan mahasiswa terdampak ke institusi lain. Sayangnya, sebagian besar universitas telah menutup pendaftaran semester berikutnya.
Kebijakan ini pun memicu reaksi keras dari mahasiswa internasional lain. Karl Molden, mahasiswa asal Austria, mengaku khawatir karena sedang berada di luar AS dan belum tahu apakah ia bisa kembali.
“Kami seolah dijadikan pion dalam konflik antara nilai demokrasi dan otoritarianisme,” kata Karl.
Jared, pelajar 18 tahun dari Selandia Baru yang baru diterima di Harvard, merasa dikhianati. Ia tengah memproses visa ketika larangan diumumkan. “Saya benar-benar hancur hati,” ucapnya.
Selain masalah imigrasi, sentimen rasial dan agama pun menyeruak. Seorang mahasiswa asal Israel, yang menolak disebut namanya, menduga keputusan Trump memiliki muatan politik, menggunakan isu antisemitisme dan konflik internal kampus sebagai alat menyerang dunia akademik liberal.
“Saya merasa kami dijadikan alat dalam konfrontasi politik yang lebih besar,” ungkapnya.
Kebijakan ini resmi ditandatangani oleh Menteri Keamanan Dalam Negeri AS Kristi Noem pada 22 Mei 2025, dan segera digugat oleh Harvard. Pengadilan Distrik Massachusetts saat ini tengah meninjau legalitas keputusan tersebut dan telah menangguhkan penerapannya untuk sementara.
Langkah ini bukan hanya dianggap merugikan mahasiswa, tetapi juga mengancam stabilitas keuangan dan reputasi akademik Harvard yang selama ini bergantung pada partisipasi pelajar internasional.
Komentar