JurnalPatroliNews – Jakarta – Kisruh seputar alih administrasi empat pulau dari Aceh ke Sumatera Utara sebenarnya tak perlu berujung gaduh, jika Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tidak menutup mata terhadap berbagai keberatan dari Pemerintah Aceh sejak jauh hari.
Risman Rachman, mantan Staf Khusus (Stafsus) Gubernur Aceh, mengungkap bahwa konflik tersebut berawal dari sikap tidak responsif Kemendagri terhadap berbagai nota protes yang telah dikirimkan sejak sebelum terbitnya Kepmendagri 050-145 Tahun 2022.
“Jangan hanya menilai dari satu sudut pandang, tapi lihatlah pula dari catatan panjang yang dimiliki Aceh,” ujar Risman pada Rabu, 18 Juni 2025.
Risman menjelaskan bahwa Pemerintah Aceh sudah sejak awal menolak pemindahan administrasi Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang ke wilayah Sumut. Penolakan bahkan telah disuarakan sebelum Kepmendagri diteken pada 14 Februari 2022.
Lebih jauh, ia menuturkan bahwa sejak 2008, upaya Aceh untuk mencatatkan kepemilikan pulau-pulau tersebut telah terhambat. Saat itu, dalam pertemuan Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi (20–22 November), Aceh dilarang mendaftarkan keempat pulau hanya karena lebih dulu diklaim oleh Sumut.
“Justru pada 21 November 2008, Sumut menyatakan Aceh sedang menggugat dan meminta pusat membantu menyelesaikan perbatasan wilayah,” ujarnya.
Kemudian pada 25 September 2009, Mendagri merespons dengan meminta Aceh menyampaikan ulang daftar nama pulau yang telah dibakukan. Surat dari Gubernur Aceh bernomor 125/63033 tertanggal 4 November 2009 menjadi alasan utama Kemendagri menolak keberatan Aceh selanjutnya, meskipun data tersebut telah diperbarui pada 2018.
Tahun 2017, lanjut Risman, Pemerintah Aceh kembali bersurat, meminta agar empat pulau dikeluarkan dari dokumen RZWP3K. Namun Kemendagri berdalih pulau-pulau tersebut telah didaftarkan ke sidang UNCSGN di New York atas nama Tapanuli Tengah.
Tak berhenti di situ, Gubernur Aceh kembali mengajukan permohonan penyelesaian batas laut pada 31 Desember 2019, dan surat ini juga dikirim tembusannya ke DPR dan DPD RI.
Menurut Risman, upaya serupa terus dilakukan pada 11 Februari 2021, 17 Desember 2021, dan 19 Januari 2022. Namun semua surat itu seolah diabaikan, karena pada akhirnya Kemendagri malah mengesahkan Kepmendagri 050-145 Tahun 2022, yang memasukkan empat pulau ke wilayah Sumut.
Keberatan kembali diajukan pada 20 April 2022 dengan surat yang disampaikan kepada Presiden dan berbagai lembaga negara, disusul pembentukan tim survei lapangan oleh Kemendagri pada 24 Mei 2022. Tapi hasil kunjungan lapangan 31 Mei hingga 4 Juni tetap tak berdampak.
Pada 6 Juli 2022, usai pelantikan Achmad Marzuki sebagai Pj Gubernur Aceh, janji Kemendagri untuk membahas aspirasi Aceh pun menguap. Bahkan rapat yang digelar 21 Juli 2022 di Bali oleh Kemenko Polhukam juga gagal membuahkan hasil, hingga akhirnya muncul Kepmendagri 100.1.1-6117 Tahun 2022.
Surat keberatan lain kembali dikirim oleh Pj Gubernur Aceh pada 7 Februari 2023, namun tak lama kemudian, Kemendagri justru menerbitkan Kepmendagri 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang tetap mempertahankan posisi Sumut atas empat pulau tersebut.
Konflik akhirnya berakhir setelah Presiden Prabowo Subianto turun langsung dan memutuskan bahwa keempat pulau itu sah milik Aceh.
“Keputusan Presiden memang penting, tapi rasa keadilan Aceh belum tuntas. Pemerintah seharusnya juga menyampaikan permintaan maaf, bukan sekadar menetapkan wilayah,” pungkas Risman.
Komentar