Andi Mallarangeng menjelaskan bahwa sejak era Bung Karno hingga Jokowi, pola komunikasi pemerintahan terus mengalami perubahan. “Di era Bung Karno, ada juru bicara ideologi, sedangkan di era Suharto, komunikasi dijalankan oleh para menterinya tanpa adanya juru bicara khusus. Gus Dur sempat memiliki empat juru bicara yang bekerja dalam sistem shift, namun ini menimbulkan inkonsistensi informasi,” paparnya.
Sejarah Jubir Presiden di Indonesia dimulai sejak era Presiden Soekarno. Saat itu, Usman, yang dikenal sebagai ‘Jubir Usdek Manipol’ bertanggung jawab langsung kepada presiden dengan tugas utama menjelaskan aspek ideologi pemerintahan. Di era Presiden Soeharto, posisi resmi Jubir tidak ada karena komunikasi pemerintah dilakukan melalui para menteri, dengan pengecualian Moerdiono yang berperan sebagai Seskab. Presiden Habibie juga tidak memiliki Jubir, karena ia lebih memilih menyampaikan pesan langsung kepada publik. Sementara itu, Presiden
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memiliki empat Jubir yang bekerja dalam sistem shift. Namun, sistem ini menghadapi kendala dalam kesinambungan informasi, menyebabkan kebingungan di kalangan media. Era Presiden Megawati Soekarnoputri juga tidak memiliki Jubir resmi. Sebagai gantinya, banyak anggota partai politik yang berperan dalam menyampaikan kebijakan pemerintah. Baru pada masa pemerintahan Presiden SBY, sistem Jubir kembali diterapkan dengan struktur yang lebih terorganisir. Saat itu, terdapat dua Jubir, yaitu Dino Pati Djalal untuk urusan luar negeri dan Andi Mallarangeng untuk urusan dalam negeri. Jubir bertugas setiap hari tanpa sistem shift untuk memastikan kesinambungan informasi.
Menurut Andi, pola komunikasi terbaik terjadi di era SBY. Dengan sistem yang tertata, para juru bicara memiliki peran strategis dalam menjelaskan kebijakan pemerintah kepada publik. Ia menyoroti bahwa dalam era Jokowi, juru bicara pemerintahan tidak berfungsi optimal, dan komunikasi lebih banyak dilakukan oleh buzzer yang sering kali bersifat menyerang lawan politik.
Uni Zulfiani Lubis, Pemimpin Redaksi IDN Times, menambahkan bahwa pola komunikasi pemerintahan semakin bertransformasi di era digital. Ia menggarisbawahi bahwa pada era Jokowi, komunikasi lebih banyak bergantung pada media sosial dibandingkan pertemuan langsung dengan jurnalis.
“Di era Jokowi, pertemuan dengan pemimpin redaksi hanya dilakukan dua kali setahun dengan durasi singkat, sehingga kesempatan untuk klarifikasi terbatas. Akibatnya, media lebih sering mendapatkan informasi dari YouTube Presiden ketimbang forum diskusi yang lebih interaktif,” jelas Uni.
Ia membandingkan pola komunikasi ini dengan era SBY, di mana pemerintah lebih terbuka terhadap media. “Pak SBY bahkan mengakomodir hingga 65 pemimpin redaksi dalam diskusi yang berlangsung selama beberapa jam, memungkinkan media untuk mendapatkan informasi latar belakang yang lebih mendalam,” tambahnya.
Komentar