JurnalPatroliNews – Jakarta – Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Bambang Soesatyo, menyatakan bahwa wacana mengubah skema pemilihan wakil presiden di Indonesia sebaiknya tidak langsung ditolak, melainkan dipelajari secara mendalam karena bisa menjadi jawaban atas sejumlah persoalan dalam sistem politik nasional.
Menurutnya, usulan tersebut menjadi semakin relevan setelah ambang batas 20% pencalonan presiden dihilangkan. Dengan demikian, jalur pencalonan presiden terbuka lebih luas, bahkan memungkinkan lebih dari tiga kandidat tampil, tanpa perlu koalisi besar yang selama ini cenderung sarat kompromi dan kepentingan transaksional.
“Dalam konteks demokratisasi yang lebih matang dan kebutuhan akan kestabilan pemerintahan jangka panjang, pemisahan antara pemilihan presiden dan wakil presiden dapat menjadi solusi atas problematika struktural dalam pemilu kita. Salah satu problemnya adalah tarik-ulur kompromi politik saat menentukan pasangan calon, yang acap kali malah mengganggu arah kepemimpinan,” kata Bamsoet dalam keterangannya pada Jumat, 4 Juli 2025.
Gagasan ini pertama kali diusulkan oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof. Jimly Asshiddiqie, yang menyarankan agar presiden tetap dipilih langsung oleh rakyat, namun wakil presiden ditetapkan oleh MPR berdasarkan satu atau dua nama yang diajukan oleh presiden terpilih.
Bamsoet menjelaskan, dalam sistem yang diusulkan, presiden tetap berkontestasi secara langsung melalui pemilu, tetapi tidak harus memilih pendamping sejak awal. Setelah terpilih, presiden memiliki kewenangan untuk mengusulkan calon wapres ke MPR, yang kemudian akan memilih dan menetapkan salah satu dari nama tersebut melalui musyawarah mufakat atau pemungutan suara.
“Dengan cara ini, MPR dapat kembali memainkan peran penting dalam sistem kenegaraan, yang selama ini relatif pasif pasca-amandemen. Keikutsertaan MPR dalam penetapan wapres juga akan memperkuat legitimasi politik sang wapres, serta menjamin bahwa ia memiliki jaringan politik yang memadai untuk menjembatani kepentingan berbagai kelompok di parlemen,” jelas Bamsoet.
Lebih lanjut, ia menilai bahwa pola semacam ini akan mendukung terbentuknya pemerintahan yang lebih efektif dan efisien. Di masa lalu, koalisi partai harus dibentuk sebelum pemilu demi mendukung pasangan capres-cawapres. Kini, jika usulan ini diterapkan, koalisi bisa dirumuskan pasca pemilu sebagai bagian dari penyusunan kabinet, yang berarti tidak perlu lagi ada koalisi prematur yang berisiko tinggi terhadap praktik politik transaksional.
Dalam skema ini, posisi wakil presiden secara hukum tetap tidak berubah. Meski ditetapkan oleh MPR, wapres tetap menduduki posisi sebagai orang nomor dua di negara, dengan fungsi dan kewenangan yang utuh mendampingi presiden.
“Tentu perubahan seperti ini perlu dasar hukum baru, lewat proses amandemen konstitusi. Beberapa ayat dalam Pasal 6A—terutama ayat (1) hingga (5)—harus direvisi. Konsep ‘pasangan calon’ dihilangkan, dan diimbangi dengan penambahan pasal baru, yakni Pasal 6B, yang memberikan dasar konstitusional bagi presiden terpilih untuk mengusulkan nama calon wakil presiden ke MPR,” tutup Bamsoet.
Komentar