Laksamana Sukardi: Republik Mubazir

JurnalPatroliNews – Jakarta – Minggu ini ada beberapa babak drama di Republik Indonesia yang menyita perhatian netizen. Yaitu drama Sepakbola U20 dan drama di DPR. Keduanya sangat intens dan mampu melupakan kasus jendral Sambo dan Teddy Minahasaputra.

Kali ini saya ingin membahas drama di DPR. Karena merupakan sesuatu yang menarik bagi masa depan bangsa Indonesia, yang meliputi masalah korupsi, pejabat tinggi negara dan para wakil rakyat yang menentukan haluan arah pembangunan dan kesejahteraan rakyat.

Saling tuding, bentak membentak dan mempertunjukkan kemarahan ketika dikritik sekaligus mengklaim dirinya sebagai orang paling baik dan tidak berdosa. Sebuah sinetron yang lengkap dengan skenario yang sangat menggembirakan para netizen karena kebanjiran konten.

Dimulailah pemenggalan pemenggalan episode drama tersebut kedalam akun akun media sosial para netizen.

Para nertizen sangat gembira karena mendapat konten menarik yang gratis dan jumlah viewer yang banyak. Akan tetapi perlu disadari yang menerima keuntungan paling besar adalah perusahaan perusahaan media sosial luar negeri seperti Tiktok, Insta Gram, Face Book, Youtube, Whatsapp, dll

Ada satu hal yang cenderung dilupakan oleh para pelaku drama tersebut, yaitu sejarah microphone di DPR! Hal ini perlu dikemukakan karena tanpa microphone dan kamera tv di DPR, drama tersebut akan jauh dari kemungkinan untuk mendapat nominasi Oscar dalam kategori short movie.

Pada zaman orde baru, tidak pernah ada keterbukaan dan bahkan anggota DPR tidak boleh bertanya kepada mitra pemerintah dalam acaara Rapat Dengar Pendapat (RDP) maupun sidang pleno DPRRI.

Ketika Sabam Sirait dan seorang Jendral TNI melakukan interupsi dalam Sidang Pleno MPRRI, langsung menjadi headline dan laporan utama di media cetak.

Yang diberitakan bukan materi dari interupsinya akan tetapi keberanian melakukan interupsi.

Mungkin banyak dari anggouta DPRRI yang sekarang tidak mengetahui sejarah perjuangan reformasi politik di lembaga perwakilan tersebut, maklum kejadiannya telah lewat 25 tahun.

Gerakan reformasi 1998 bertujuan meningkatkan transparansi, keterbukaan dan empowerment anggota Dewan untuk menyuarakan aspirasi rakyat yang diwakilinya.

Yang diperjuangkan oleh gerakan reformasi adalah agar aspirasi rakyat dapat disuarakan dengan jelas dengan menggunakan microphone.

Saya tegaskan lagi suara aspirasi rakyat yang harus didengungkan dalam ruangan wakil rakyat tersebut, bukan kemarahan, bentak membentak, pernyataan pernyataan betapa suci dan pengorbanan anggota DPR yang harus diketahui rakyat.

Keberadaan microphone di DPR merupakan buah perjuangan gerakan reformasi yang memiliki tujuan sakral, yaitu meningkatkan kualitas demokrasi dan fungsi pengawasan lembaga perwakilan rakyat.

Para wakil rakyat sepatutnya menggali informasi dari mitra kerja, baik pemerintah maupun swasta, dengan tujuan untuk memperbaiki sistim yang ada dengan tujuan untuk menghasilkan produk legislasi (undang-undang) untuk menciptakan kesejahteraan rakyat yang diwakilinya.

Komentar