Program Nawa Cita Jokowi-JK disusun oleh PDIP yang berisi agenda pemerintahan pasangan itu. Dalam visi-misi tersebut dipaparkan sembilan agenda pokok untuk melanjutkan semangat perjuangan dan cita-cita Soekarno yang dikenal dengan istilah Trisakti, yaitu berdaulat secara politik, mandiri dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Lalu dalam periode kedua, Jokowi-Maruf Amin melanjutkan Nawa Cita dengan penekanan pada 5 Visi Jokowi untuk pembangunan: 1) Pembangunan infrastruktur akan terus dilanjutkan, 2) Pembangunan sumber daya manusia, 3) Investasi harus diundang seluas-luasnya, 4) Reformasi birokrasi, 5) Menjamin penggunaan APBN yang fokus dan tepat sasaran.
Belajar dari pengalaman, Jokowi berkeyakinan bahwa pemerintahan yang efektif mesti didukung pilar legislatif yang kondusif. Jadi perlu dibangun suatu koalisi besar. Maka kita melihat selama periode kedua pemerintahannya Jokowi berhasil menggalang koalisi yang terdiri dari 8 partai politik di parlemen yang mendukung pemerintahan Joko Widodo-Maruf Amin (2019-2024).
Komposisinya: PDI-P dengan 128 kursi, Golkar 85 kursi, Gerindra 78 kursi, NasDem 59 kursi, PKB 58 kursi, Demokrat 54 kursi, PAN 44 kursi, PPP 19 kursi. Sedangkan parpol oposisi adalah PKS yang punya 50 kursi. Total 575 kursi. Ketua DPR adalah Puan Maharani dari PDIP.
Boleh dibilang dengan dukungan koalisi parpol di parlemen yang sebesar 525 kursi atau 90 persen lebih maka banyak kebijakan besar yang diambil Jokowi bisa berjalan dengan efektif lantaran didukung (mendapat persetujuan dengan cepat) dari parlemen. Misalnya saja, UU Cipta Kerja dan UU IKN, adalah dua contoh dari sekian banyak UU inisiatif eksekutif yang diratifikasi dengan relatif cepat.
Singkat cerita Jokowi berkeyakinan hanya dengan koalisi besarlah maka pemerintahan bisa berjalan lancar dengan program pembangunannya. Di titik inilah bibit-bibit perpisahan Jokowi dengan PDIP (Megawati) mulai bersemi. Jokowi mendahulukan kerjasama politik bersama parpol koalisi untuk menjamin program pembangunannya berlanjut terus. Sedangkan PDIP (Megawati) mendahulukan parpolnya dulu untuk mendominasi kekuasaan.
Perbedaan ontologis dalam memandang realitas politik ini telah mengakibatkan perbedaan dalam strategi politik antara keduanya. Jokowi ingin koalisi besar dipertahankan sejak pra-pemilu (sebelum pemilu). Dimana ada kesepakatan (semacam permusyawaratan) yang intinya adalah membela program-program pembangunan Jokowi yang sedang berjalan agar bisa terus terlaksana.
Ini dalam cara pandang Jokowi adalah strategi koalisi besar untuk menghadapai realitas faktual geo-politik dunia. Disamping itu kesempatan Indonesia yang punya kondisi demografis kependudukan yang kondusif untuk melepaskan kita dari “middle-income trap” (jebakan negara berpenghasilan menengan) sangatlah penting dan urgansinya tak bisa ditawar-tawar lagi.
Akhirnya kita menyaksikan di penghujung akhir masa jabatannya Jokowi menghadapi tantangan bukan dari luar saja, tapi teristimewa dari internal partainya sendiri. Tak perlu diulang di sini bagaimana drama Jokowi versus Megawati mewarnai blantika politik nasional.
Komentar