JurnalPatroliNews – Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) mengajukan pertanyaan kritis kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) Barito Utara terkait keputusannya untuk tidak melaksanakan pemungutan suara ulang (PSU).
Hal ini mencuat dalam sidang lanjutan sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Barito Utara yang berlangsung di Ruang Sidang MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, pada Rabu, 19 Februari 2025.
Sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo, serta didampingi oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah, menghadirkan perwakilan KPU Barito Utara yang harus menjelaskan keputusan mereka terkait PSU.
Rekomendasi PSU dari Bawaslu
Persoalan ini bermula dari rekomendasi Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Barito Utara, yang tercantum dalam surat Nomor 226/PP.01.02/K.KH-03/12/2024 tertanggal 3 Desember 2024. Dalam surat tersebut, Bawaslu menyatakan bahwa PSU perlu dilakukan di TPS 04 Malawaken.
Menurut perwakilan Bawaslu, Adam Parawansa Shahbubakar, rekomendasi ini dikeluarkan setelah ditemukan adanya pemilih yang mencoblos tanpa membawa e-KTP. Bawaslu telah melakukan kajian hukum serta klarifikasi kepada kepala desa sebelum menerbitkan surat rekomendasi kepada KPU Barito Utara.
KPU Barito Utara Menolak PSU
Menanggapi surat tersebut, KPU Barito Utara mengirimkan surat balasan yang menjelaskan bahwa mereka tidak melihat adanya alasan yang cukup kuat untuk menggelar PSU. Ketua KPU Barito Utara, Siska Dewi Lestari, menjelaskan bahwa keputusan ini diambil berdasarkan kajian hukum serta mengacu pada Surat Edaran Ketua KPU Barito Utara Nomor 2734 tertanggal 26 November 2024.
“Kami melakukan analisis terhadap rekomendasi yang diberikan. Tidak hanya mengacu pada surat edaran tersebut, tetapi juga berdasarkan Undang-Undang Pemilihan, khususnya Pasal 112, yang mengatur tentang persyaratan pelaksanaan PSU,” ujar Siska.
Komentar