JurnalPatroliNews – Jakarta – Tingkat penerimaan negara yang masih rendah dibandingkan produk domestik bruto (PDB) kembali menjadi sorotan sebagai salah satu kelemahan mendasar dalam fondasi fiskal Indonesia.
Hal ini disampaikan oleh Hashim Djojohadikusumo, Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi, dalam acara peluncuran lembaga kajian kebijakan Prasasti Center for Policy Studies, Senin, 30 Juni 2025 di Jakarta Pusat.
Hashim mengungkapkan bahwa pemerintah telah menjalin dialog intensif dengan Bank Dunia untuk mencari formula terbaik guna meningkatkan pendapatan negara. “Pak Burhanuddin Abdullah sudah tujuh kali, saya delapan kali bertemu dengan World Bank untuk membahas masalah ini. Kesimpulannya memang jelas—rasio penerimaan kita masih sangat rendah,” ucapnya.
Ia menyebut bahwa dalam lebih dari satu dekade terakhir, rasio penerimaan negara terhadap PDB nyaris tidak berubah, tetap berada di sekitar angka 12 persen. “Target tahun ini hanya 12,1 persen dari GDP. Ini sudah berlangsung selama 12 sampai 13 tahun, dan tidak ada peningkatan signifikan,” katanya menegaskan.
Sebagai penasihat utama di Prasasti Center, Hashim menyampaikan bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran memiliki ambisi besar untuk menggenjot rasio penerimaan hingga 18 persen dari PDB pada tahun 2029. Menurutnya, capaian tersebut bukan hal mustahil, apalagi bila melihat perbandingan dengan negara tetangga seperti Kamboja.
“Sepuluh tahun lalu Kamboja hanya 9 persen, kita 12 persen. Sekarang mereka sudah 18 persen, tapi kita masih tertahan di 12 persen. Ini jadi pelajaran penting bahwa Indonesia harus bergerak lebih cepat,” ujarnya.
Hashim juga menekankan peran strategis teknologi, khususnya kecerdasan buatan (AI) dan sistem informasi, dalam upaya mereformasi sistem penerimaan negara. Ia optimis, dengan pemanfaatan teknologi yang maksimal, target 18 persen bisa dicapai hanya dalam waktu empat tahun.
“Dengan pendekatan digital dan AI, saya yakin kita mampu melompat ke angka 18 persen dalam empat tahun ke depan,” katanya penuh keyakinan.
Selain itu, Hashim menyerukan agar lembaga-lembaga independen seperti Prasasti Center turut aktif mengawal agenda fiskal ini dari luar pemerintahan. “Saya harap Prasasti bisa memberi evaluasi objektif dan masukan kritis. Setiap kebijakan pasti punya kelemahan, dan kita butuh perspektif dari luar sistem yang tetap independen,” tutupnya.
Komentar