JurnalPatroliNews – Jakarta – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara Nomor 135/PUU-XXII/2025 mengenai pemisahan jadwal pemilu nasional dan daerah dinilai berpotensi membatalkan dampak hukum dari putusan MK sebelumnya terkait syarat pencalonan kepala daerah.
Penilaian tersebut disampaikan oleh Yusak Farchan, pendiri Citra Institute, yang menyebut bahwa kebijakan baru MK ini bisa menabrak Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang sempat mengatur soal ambang batas pencalonan dalam pilkada.
“Putusan yang baru ini membuka jarak waktu antara pemilu legislatif dan pilkada hingga 2 hingga 2,5 tahun. Artinya, basis suara partai dari hasil pemilu DPRD yang menjadi acuan dalam pencalonan kepala daerah, belum tersedia saat pendaftaran,” ujar Yusak pada Jumat, 4 Juli 2025.
Ia menegaskan bahwa jika pemilu legislatif daerah dan pilkada tidak lagi dilangsungkan di hari yang sama, maka logika penerapan ambang batas sebagaimana tertuang dalam Putusan MK 60/2024 menjadi sulit diimplementasikan.
Yusak menjelaskan, aturan ambang batas dalam konteks pemilu serentak 2024 memungkinkan partai non-parlemen mengajukan pasangan calon kepala daerah berdasarkan perhitungan suara dari pemilu legislatif yang digelar bersamaan.
Namun, dengan skenario baru di mana pemilu dibagi menjadi nasional dan lokal yang terpisah, ia menilai arah politik MK justru cenderung mendorong model tanpa ambang batas atau bahkan kembali ke mekanisme lama, yakni pilkada melalui DPRD.
“Bila pemilu DPRD dan pilkada dilaksanakan bersamaan, maka semua partai politik peserta pemilu punya peluang yang sama untuk mengusung calon. Ambang batas pencalonan pun bisa saja dihilangkan, seperti halnya presidential threshold yang diturunkan jadi nol persen,” jelasnya.
Yusak mengakhiri pandangannya dengan menyebut bahwa inkonsistensi antar putusan MK ini bisa menimbulkan kebingungan hukum, dan membuka ruang perdebatan soal arah reformasi sistem pemilu dan pilkada di Indonesia ke depan.
Komentar