Pengembangan EBT Jadi Peran Penting, Menteri ESDM: RI Bakal Lebih Hijau

JurnalPatroliNews – Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebutkan bahwa Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EB-ET) memiliki peran penting dalam penyediaan energi bersih di dalam negeri.

Menteri ESDM Arifin Tasrif mengungkapkan bahwa RUU EBET memiliki peran penting sebagai regulasi komprehensif dalam menciptakan iklim pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT).

Arifin juga menyebutkan peran RUU EBET juga penting dalam menciptakan industri hijau serta pertumbuhan ekonomi dalam negeri.

Arifin mengatakan, dengan adanya RUU EBET bisa membantu target Indonesia dalam mencapai Net Zero Emission di tahun 2060 dan Nationally Determined Contribution (NDC). “Rancangan UU EBET diperlukan sebagai regulasi komprehensif untuk menciptakan iklim pengembangan EBT yang berkelanjutan dan berkeadilan, di samping capaian target NDC dan NZE serta mendukung pembangunan green industry dan pertumbuhan ekonomi nasional,” ungkap Arifin dalam Rapat Kerja Komisi VII DPR RI bersama jajaran Menteri, Jakarta, Selasa (24/1/2023).

Arifin juga mengungkapkan urgensi atau pentingnya peran RUU EBET adalah bisa memberikan kesempatan akses partisipasi kepada masyarakat dalam penyediaan energi terbarukan. “Peran penting dari RUU EBET antara lain adalah, memberikan kesempatan akses dan/atau partisipasi kepada masyarakat untuk penyediaan dan pemanfaatan EBET,” ujarnya.

Pemanfaatan yang bisa melibatkan masyarakat adalah dalam pemanfaatan pengembangan berbagai energi terbarukan seperti panas bumi, air, surya, laut, dan bioenergi. “Mempercepat pengembangan energi panas bumi, air, surya, angin, laut, dan bioenergi,” tandasnya.

Selain itu, Arifin juga menyebutkan bahwa RUU EBET bisa mendorong TKDN atau Tingkat Komponen Dalam Negeri sehingga menjaga agar harga EBET masih bisa kompetitif. “Mendorong TKDN dengan mempertimbangkan ketersediaan kemampuan dalam negeri yang belum cukup tersedia dna menjaga harga EBET tetap kompetitif,” paparnya.

Oleh karena itu,, Arifin berharap dengan terbitnya RUU EBET bisa memberikan kepastian dan landasan hukum bagi pengembangan EBET di Indonesia beserta program pendukungnya.

Selain itu juga bisa mengoptimalkan sumber daya EBT dan memperkuat tata kelola EBET.

Arifin menambahkan, RUU EBET ini juga diharapkan bisa menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi investor EBET untuk berinvestasi di Indonesia. “Diharapkan setelah terbitnya RUU EBET dapat memberikan kepastian dan landasan hukum bagi pengembangan EBET dan program pendukungnya, mengoptimalkan sumber daya EBT, memperkuat kelembagaan dan tata kelola EBET, serta menciptakan iklim investasi kondusif bagi investor EBET,” pungkasnya.

Untuk diketahui, Komisi VII DPR RI menggelar Rapat Kerja bersama sejumlah Menteri beserta jajarannya pada Selasa (24/1/2023).

Rapat tersebut bertujuan untuk membahas mengenai Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EB-ET).

Dalam agenda rapat, diketahui Menteri yang dijadwalkan hadir diantaranya yakni Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Menteri Keuangan, Mendikbud Ristek, Menteri BUMN, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Perindustrian serta Pimpinan Komite II DPD RI.

Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto mengatakan rapat tersebut nantinya akan membahas mengenai beberapa poin penting.

Diantaranya seperti mekanisme kerja pembahasan RUU tentang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EB-ET), Pembahasan DIM per DIM RUU EBET dan Pengesahan pembentukan Panja, Tim Perumus, Tim Kecil dan Tim Sinkronisasi.

Menurut Sugeng pada November 2022 lalu, Komisi VII dan jajaran Menteri sebetulnya telah melaksanakan rapat kerja pengantar musyawarah tentang RUU EB-ET.

Adapun Komisi VII juga telah menerima DIM RUU EB-ET dari pemerintah. “Komisi VII telah menerima DIM RUU EBET dari pemerintah maka rapat kerja hari ini melanjutkan agenda dari pembahasan RUU EBET,” kata dia.

Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menilai bahwa DIM yang diterima DPR sebetulnya sudah jauh dari jadwal yang ditentukan.

Hal tersebut tentunya telah melanggar Undang-Undang Nomor 13 tahun 2002 pasal 49 ayat 2. “Presiden menugasi Menteri yang mewakili yang membahas uu daftar inventaris masalah paling lama 60 hari terhitung sejak surat DPR diterima. Saya khawatir menjadi cacat hukum ini ketimbang yang berbelit ada upaya kita untuk mitigasi sehingga kita clear,” kata dia.

Komentar