Tak hanya berpotensi terseret dalam kasus korupsi, Demer juga disebut-sebut terancam dipanggil oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI atas dugaan pelanggaran berat terhadap UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, khususnya Pasal 236 angka 2.
Pasal tersebut secara tegas menyatakan bahwa anggota DPR dilarang merangkap jabatan struktural atau mengambil pekerjaan yang bersumber dari dana APBN.
“Ini bukan pelanggaran ringan. Ini pelanggaran serius. Pernah sebelumnya Demer diperiksa oleh MKD, dan sekarang dengan data dan fakta yang lebih kuat, ancaman sanksi etis hingga politik sangat mungkin terjadi,” tegas Mutalib. Ia juga membandingkan dengan kasus Ahmad Dhani yang hanya karena salah ucap dapat dijatuhi sanksi berat oleh MKD. “Apalagi ini soal proyek APBN dan dugaan korupsi, kolusi, serta nepotisme,” imbuhnya.
Selain dugaan pelanggaran hukum dan etika, Mutalib juga menyoroti dugaan penggunaan kekuasaan secara manipulatif. “Beberapa DPD kabupaten/kota ditekan dengan dalih ini adalah perintah DPP. Padahal faktanya tidak,” ujarnya.
Kekhawatiran kader-kader internal pun mencuat. Mereka melihat Musda ini sarat agenda personal untuk melanggengkan kekuasaan keluarga.
“Tujuan merebut posisi Ketua DPD Golkar Bali hanya untuk mengamankan anaknya yang menjabat Ketua Komisi II DPRD Bali dan iparnya sebagai Wakil Ketua DPRD Bali. Ini berbahaya, karena akan menutup ruang kader-kader potensial lainnya,” tambah Mutalib.
Dugaan semakin menguat bahwa penundaan Musda memiliki kaitan erat dengan kekhawatiran terhadap calon yang berpotensi tersangkut kasus hukum. Jika calon tersebut terpilih, bisa menjadi beban politik bagi Golkar atau bahkan menjadikan partai sebagai tameng untuk menghadapi proses hukum yang serius.
Kini, publik menantikan bagaimana DPP Golkar menyikapi situasi ini secara transparan dan bertanggung jawab, serta apakah MKD benar-benar akan mengambil langkah tegas terhadap dugaan pelanggaran serius yang melibatkan anggotanya.
Komentar